Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pandangan Para Ahli Pendidikan Tentang QS. Al Kahfi Ayat 66-70 Bab III

PANDANGAN PARA AHLI PENDIDIKAN TENTANG SURAT AL-KAHFI AYAT 66 - 70 MENGENAI PERAN PENDIDIK DALAM MEMBIMBING PESERTA DIDIK BAB III - Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, fi’lan yang berarti; mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan). 

Sedangkan menurut Istilah ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi (Bakhtiar, A. 2004:13).

Pandangan Para Ahli Pendidikan Tentang QS Al Kahfi Ayat 66-70 bab III
Guru MTs Nurul Falah Cimahi foto bareng pada Hari Guru Nasional

Harsojo, Guru besar antropolog di Universitas Pajajaran yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar (2004:15) mendefinisikan bahwa ilmu adalah merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan, suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empirirs, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera.

Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (2004:123) memberikan pandangan bahwa ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai objek. Ilmu sebagai proses melibatkan ilmu deria, ilmu akal, dan ilmu laduni.

Sebagai objek Ilmu menurut al-Ghazali, bukan saja menghindari pengaruh fasafah Yunani di zamannya, tetapi juga penulis-penulis dalam pendidikan pada zaman mutakhir belum dapat menjangkau insigh beliau.

Dari dari keterangan para ahli tentang ilmu diatas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka dan kumulatif (tersusun timbun). Hasilnya dari ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu pengetahuan mempunyai spektrum analisis amat luas, mencakup persoalan yang sifatnya supermakro, makro dan mikro. Hal ini jelas terlihat, misalnya pada ilmu ilmu: fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa, dan bioteknologi.

Pedagogik atau ilmu pendidikan  ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejal perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”,. Paedagogis ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan dari paedagogos itu (Purwanto, N. 1985:3). 

    
Ahmad Tafsir (2006:33) menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membentu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat tersebut, pertama “membantu” dan kedua “manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. 

Soegarda Purbakawaca, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, (2003:12) menurutnya dalam arti umum, pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.

Menurut Ngalim Purwanto (2007: 11) pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.

Dari pengertian pendidikan menurut para ahli diatas bahwa pendidikan mempunyai dimensi yang cukup luas, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup. Pendidikan pada prinsipnya merupakan suatu proses bimbingan dan pembinaan  yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap seluruh potensi peserta didik, baik jasmani maupun rohaninya agar ia memiliki kepribadian yang utama, mampu berdiri sendiri dan dapat mencapai kedewasaannya.

Setelah pengertian pendidikan secara umum, selanjutnya pengertian dari penggabungan pendidikan dan Islam (secara khusus) karena dengan penggabungan dua kata tersebut akan menimbulkan pengertian dan pemahaman baru.  H. M. Arifin, sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2003: 12) mendefinisikan pendidikan Islam adalah:
 
Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Istilah membimbing, mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan dan melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan ikhlas serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.

Menurut hemat penulis dari pengertian pendidikan Islam diatas ada tiga poin yang dapat disimpulkan, pertama, pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, maka dengan itu pembinaan terhadap keduanya harus sejajar dan seimbang. Kedua, pendidikan Islam mendasarkan konsepsinya pada nilai-nilai religius. Ini berarti pendidikan Islam tidak mengabaikan faktor teologis sebagai sumber dari ilmu itu sendiri. Ketiga, adanya unsur takwa sebagai tujuan yang harus dicapai.

Pendapat lain adalah menurut Zakiah Daradjat ( 2008: 28 ) bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Di segi lainnya bahwa pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga peraktis.  Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal , oleh karena itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal.

Menurut Ahmad Dahlan, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 328 ) bahwa model pendidikan Islam yaitu:
  1. Tarbiyah, yang mempunyai makna menanamkan dan mewujudkan kesadaran secara prikemanusiaan untuk hidup bersama, sehingga anak-anak didik mempunyai tanggung jawab individual selaku makhluk sosial.
  2. Ta’lim, yang mempunyai maksud mencerdaskan sains dan teknologi di otak anak didik, sehingga mereka menjadi ilmuwan-ilmuwan Islam yang mantap.
  3. Ta’dib,  yaitu memberikan pelajaran dan pengamalan kepada anak didik untuk berlaku sopan dan mempunyai adab yang baik.

Nasir Budiman (2001: 1) berpendapat bahwa lapangan pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pengajaran, tetapi mencakup segala usaha penanaman nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangkan kepribadian subjek didik. Tujuannya adalah terwujudnya manusia muslim yang berilmu, beriman dan beramal shaleh. Usaha-usaha tersebut bisa dilaksanakanb secara langsung atau tidak langsung. 

Pernyataan Nasir Budiman ini memberikan pemahaman, bahwa pendidikan Islam pada dasarnya bersumberkan nilai-nilai ajaran Islam. Disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam tersebut, pendidikan Islam juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial yang ada.
    
Pendapat yang lain adalah menurut Nur Uhbiyati (1999: 13)  bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan hamba Allah swt.. Oleh karena itu Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia Muslim baik dduniawi maupun ukhrawi. Dari pengertian diatas maka jelaslah bagi kita bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang secara materil bukan Islamis, termasuk ruang lingkup pendidikan Islam juga, sekurang-kurangnya menjadi bagian yang menunjang. 

Jika dilihat dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para ahli pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa ilmu pendidikan Islam adalah konsep berpikir yang bersifat mendalam dan terperinci taentang hal-hal yang berkaitan dengan kependidikan berdasarkan ajaran Islam yang kesemuanya itu disusun menjadi suatu ilmu yang bulat.

2. Tujuan Pendidikan Islam

Pertama sekali bahwa sekali bahwa setiap perbincangan mengenai pendidikan sebagai suatu ilmu pengetahuan selalu melibatkan perbincangan tentang tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanya suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sebagai individu dan sebagai masyarakat. Jadi tujuan pendidikan adalah perkara yang teramat penting, sebab tujuan itulah yang menentukan sifat-sifat metode dan kandungan pendidikan. Setiap masyarakat mempunyai angan-angan tersendiri tentang individu-individu yang dicita-citakannya.

Hasan Langgulung (2004: 47) mengemukakan bahwa istilah tujuan atau matlamat berasal dari kata mata dan alamat. Mata adal;ah gambaran bulat seperti bentuk mata, sedang alamat adalah sasaran seperti memanah. Jadi tujuan adalah sasaran anak panah atau tujuan yang ingin dicapai sewaktu mengerjakan sesuatu. 

Menurut Zakiah Daradjat (2008: 28)  menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:

1.   Tujuan Umum

Tujuan Umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran ataupun dengan cara lain. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tujaun umum itu tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya.
 
2.   Tujuan Akhir

Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini ia telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Orang sudah bertakwa dalam bentuk Insan Kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya untuk memelihara supaya tidak luntur dan berkurang. Tujuan akhir pendidikan dapat dipahami dalam Firman Allah swt. dalam surat Ali-Imran ayat 102:


Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah swt. dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam“. (Depag RI, 1979: 92)

3. Tujuan Sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang ingin dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dengan sifat yang agak berbeda.

Dari pengertian tujuan pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi Insan kamil dengan pola takwa. Insan Kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena ketakwaanya kepada Allah swt. swt.

Selanjutnya menurut Mohammad a thiyah al-Abrasyi, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung (2004: 51) bahwa ada 5 tujuan pendidikan Islam secara umum:
  1. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya.
  3. Persiapan Untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat, atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional.
  4. menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan tahu dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
  5. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, tehnikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki dalam hidup disamping memelihara segi jerohanian dan keagamaan.
Menurut  Abdurrahman an-Nahlawi (1989: 163-) bahwa tujuan pendidikan Islam ialah:
1.    Islam dan Perealisasian Kepribadian
Tujuan pendidikan ini merupakan faktor paling menonjol yangn membedakan negara-negara barat dengan negara-negara sosialis. Tujuan ini yakni, bahwa setiap manusia, dengan individualitasnya, mempunyai kepribadian dan beberapa ciri khas yang membedakannya dengan manusia lain.

2.    Islam dan Tujuan Perkembangan

Bahwa satu-satunya tujuan pendidikan adalah perkembangan manusia dari seluruh aspek intelektual, fisik, dan fsikis. Contohnya perkembangan fisik bahwa tidak diragukan lagi bahwa ketaatan, ibadah, dan dakwah dijalan Allah swt. membutuhkan usaha keras dan kekuatan fisik. Didalam hadits Muslim disebutkan:

“Orang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah swt. daripada orang mu’min yang lemah”.

Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 66) menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas moral dan etika seperti kepatuhan, keamnusiaan, kesederhanaan, dan membenci terhadap perbuatan buruk seperti kebanggaan, mencintai kemewahan dan berdusta yang ditujukan untuk mematuhi kehendak Tuhan, pasrah dan bersyukur kepada-Nya

    Menurut Ahmad Tafsir (1994:46-47) tujuan pendidikan Islam yaitu:
  1. Pendidikan Islam bertujuan mewujudkan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia. Nilai-nilai ideal yang dimaksud adalah yang bercorak Islami.
  2. Tujuan pendidikan Islam adalah muslim yang sempurna, muslim  yang takwa, muslim yang beriman atau manusia yang beribadah kepada Allah swt. swt.
  3. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan al-Quran, al-Hadits, dan Ijma yang mendkatkan kepada keimanan dan pendidikan keimanan yang mampu mendekatkan diri seseorang sehingga sanggup melakukan yang baik dan sanggup meninggalkan yang buruk. Iman takwa itulah yang dapat secara pasti menjadi landasan akhlak.
Apabila memperhatikan pengertian tujuan Islam diatas, maka tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan kepribadian mulia (insan kamil) yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Dengan demikian pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam.

Selanjutnya menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyati (1999: 55) membagi-bagi tujuan pendidikan Islam itu kepada:
  1. Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu mengajarkan syiar-syiar agama menurut al-Quran dan Sunah, sebab dengan ajaran itu potensi iman diperkuat.
  2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
  3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
  4. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiranlah seseorang itu dapat memegang berbagai pekerjaan dan pertukangan atau keterampilan tertentu.
  5. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bangunan dan lainnya.
Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah swt. swt. agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya (Nata, A. 2003: 211). 

Selanjutnya menurit Abuddin Nata apabila tujuan pendidikan Islam dikaitkan dengan ayat al-Quran dan al-Hadits maka tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
  • Tujuan pertama adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah swt. swt. yaitu firman Allah swt. surat Ali Imran ayat 102.
  • Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah swt., sebagaimana Firman Allah swt. dalam surat ad-dzariyat ayat 56:

    Artinya:
    “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecualin untuk beribadah kepada-Ku”

c.    Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:

   “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”
 
Sedangkan menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 212) bahwa tujuan pendidikan Islam suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan Islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah swt. swt. melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

Berdasarkan uraian tentang tujuan-tujuan pendidikan Islam diatas jelas sekali bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang mengharapkan adanya pembaharuan yang sesuai dengan norma Islam, segala prilaku manusia didasarkan pada iman dan takwa kepada Allah swt. swt. Takwa dalam arti taat kepada kekuasaan Allah swt. swt yang mutlak dan mengandung penyerahan diri secara total kepada-Nya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum ialah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah swt. swt, agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya. menuju kebahagian dunia maupun akhirat.

3. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
 
a. Pendidik / Guru
 
Pendidik atau guru merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling utama dan pertama diantara komponen-komponen pendidikan lainnya. Hal ini disebabkan bahwa pendidik selain sebagai motor penggerak, juga merupakan penentu atas kesuksesan suatu usaha pendidikan. Pendidik juga memiliki tanggung jawab besar dalam rangka mencapai yang telah dirumuskan.

Kata “pendidik” itu meliputi semua orang yang memberi pendidikan, seperti guru, ustad, kyai, pengajar, dan orangtua. Seorang pendidik adalah teladan bagi generasi di zamannya. Ia memegang peranan penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Oleh karenanya, jika ia dapat melaksanakan kewajibanya dalam mengajar, ikhlas dalam melaksanakan tugas, dan mengarahkan anak didiknya kepada pendidikan agama serta perilaku yang baik, maka ia akan mendapat keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa) (Tafsir, A. 1992: 74).

Menurut Zakiah Daradjat (2008: 39) bahwa guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Mereka ini tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebaian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru.

Oemar Hamalik (2004: 40) berpendapat bahwa guru adalah pribadi kunci (key person), yang patut ditiru di kelas karena besar pengaruhnya terhadap prilaku dan belajar para siswa yang memiliki kecenderungan meniru dan beridentifikasi. Dari pengertian diatas jelas bahwa guru memgang penting dalam upaya mencapai tujuan pendidikan, dan karenanya peningkatan mutu guru sangat urgen. Adanya kemajuan masyarakat dan gejala terjadinya macam-macam konflik  mendorong perlunya pelaksanaan bimbingan di sekolah.

Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah swt. swt. Dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk social dan sebagai makhluk individu yang mandiri (Suryosubrata, B. 1983: 26).

Sedangkan menurut Nur Uhbiyati (1997: 71) memberikan pengertian lain tentang pendidik yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah swt., khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. 

Selanjutnya menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1989: 237) bahwa pendidik ialah orang yang mengkaji serta mengajarkan ilmu illahi kepada manusia untuk mengembangkan dan membersihkan jiwa mereka, menjauhkan dari kejahatan serta menjaganya agar tetap berada dalam fitrahnya.

Nana Sudjana (2009: 15) guru adalah sebagai pembimbing yang memberi tekanan kepada tugas, memberi bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik, sebab tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa.

Selanjutnya Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Abidin ibnu Rusn (2009: 76) mengatakan bahwa perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok. 

Dari pengertian pendidik menurut al-Ghazali diatas maka kalau kita simpulkan bahwa seorang guru sebagai subjek dalam pendidikan sebelum melaksanakan tugasnya, yakni mendidik dan mengajar, harus telah menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berbudi luhur. Tanpa memenuhi persyaratan ini mustahil tujuan pendidikan akan tercapai.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat dirumuskan bahwa pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab dalam memberikan bimbingan dan pertolongan kepada anak didik agar dapat mencapai kedewasaannya, dalam arti mampu mengembangkan kepribadiannya ke arah yang lebih baik. Bimbingan dan pertolongan yang dimaksud hendaknya berdasarkan norma-norma yang berlaku dan sesuai dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, pendidik mendapat penghormatan dan kedudukan yang sangat tinggi. Penghormatan yang tinggi ini dipandang logis diberikan, mengingat begitu besarnya jasa yang diberikan oleh seorang pendidik. Ia membimbing mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.

Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, seorang pendidik selain harus menguasai ilmu pengetahuan yang akan disampaikan kepada anak didik, juga harus memiliki sifat-sifat mulia yang dapat melengkapi kepribadiannya. Dengan sifat-sifat ini diharapkan apa yang disampaikan oleh pendidik kepada anak didik dapat didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya dapat ditiru dan diteladani dengan baik.

Para ahli pendidikan telah mentapkan sifat-sifat tertentu dan tugas serta kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Misalnya Fu’ad al-Syalhub (2006: 5 - 44) menjelaskan bahwa ada sebelas sifat yang harus dimilki oleh pendidik, yaitu:
  1. Mengikhlaskan ilmu kepada Allah swt.
  2. Kejujuran seorang guru
  3. kesesuaian perkataan dengan perbuatan
  4. Bersikap adil dan egaliter
  5. Menghiasai diri dengan akhlak mulia dan terpuji
  6. Ketawadhuan seorang guru
  7. Keberanian seorang guru
  8. Canda guru kepada murid-muridnya
  9. Sabar dan menahan amarah
  10. Menghindari ucapan kotor dan keji
  11. Guru meminta bantuan orang lain
Hasan Langgulung (2004: 213) menyebutkan cara yang dapat digunakan oleh pendidik yang ingin mengajar agar supaya lebih bersifat kreatif:
  1. mengakui dan mengetahui potensi-potensi kreatif murid.
  2. menghormati pertanyaan dan ide-ide mereka
  3. mempersoalkan mereka dengan permasalahan-permasalahan yang bersifat profokatif untuk menimbulkan sifat ingin tahu dan khayal (imagination).
Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru, al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2009: 67) menyebutkan tujuh sifat pendidik, yaitu:
  1. Guru ialah orang tua kedua di depan murid
  2. Guru sebagai pewaris ilmu nabi
  3. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid.
  4. Guru sebagai sentral figur bagi murid
  5. Guru sebagai motivator bagi murid
  6. Guru sebagai orang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid.
  7. Guru sebagai teladan bagi murid.
Bagaimana pendidik seharusnya menggunakan kewibawanya yaitu menolong dan memimpin murid kearah kedewasaanya ? maka dalam hal ini Ngalim Purwanto (1995: 52) menjelaskan bahwa seorang pendidik dalam mengunakan kewibawannya harus berdasrkan faktor-faktor berikut:
  1. Dalam menggunakan kewibawaannya hendaklah didasarkan pada perkembangan anak itu sendiri.  Pendidik hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangannya.
  2. Pendidik hendaklah memberikan kesempatan kepada murid untuk bertindak atas inisiatip sendiri.
  3. Pendidik hendaknya menjalankan kewajibannya itu atas dasar cinta kepada murid. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk kepentingan murid, jadi bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri.
Wina Sanjaya (2005: 143 - 144) menjelaskan bahwa guru adalah jabatan profesional maka ada beberapa karakter yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu:
  1. Mengajar bukan hanya menyampaikan materi saja, akan tetapi merupakan pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya diperlukan sejumlah keterampilan khusus yang didasarkan konsep dan ilmu pengetahuan yang spesifik.
  2. Sebagimana halnya tugas  seorang dokter yang berprofesi menyembuhkan penyakit pasiennya, maka tugas seorang pendidik pun memiliki bidang keahlian yang jelas, yaitu mengantarkan siswa kearah tujuan yang jelas.
  3. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang keahliannya, maka diperlukan tingkat pendidikan yang memadai.
  4. Pendidik harus bisa mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan aktif di masyarakat.
  5. Pekerjaan pendidik bukanlah pekerjaan yang statis, akan tetapi merupakan pekerjaan yang dinamis, yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa guru adalah jabatan profesi yang harus mempunyai kemampuan dasar yang tidak lain adalah kompetensi guru. Menurut Glasser, sebagaimana yang dikutip oleh Nana Sudjana ( 2009: 18) bahwa ada empat hal yang harus dikuasai oleh guru, yakni: mengasai bahan pelajaran, kemampuan mendiagnosis tingkah laku siswa, kemampuan melaksanakan proses pengajaran, dan kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Bertolak dari pendapat diatas, maka komptensi guru dapat dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu.
  2. Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya.
  3. Kompetensi prilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu, berkomunikasi dengan murid, menumbuhkan semangat belajar siswa.
Zakiah Daradjat ( 2008: 40) mengemukakan bahwa dilihat dari pendidikan Islam, maka secara umum sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah:
  1. Takwa kepada Allah swt. sebagai syarat utama seorang guru, karena guru sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik agar murid bertakwa kepada Allah swt., jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya.
  2. Berilmu, ijazah bukan semata-mata secarcik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan.
  3. Sehat jasmani dan rohani
  4. Beerkelakuan baik.
Selanjutnya menurut Zakiah Daradjat kalau dilihat dari segi akhlak bahwa guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Mencintai jabatannya sendiri
  2. Bersikap adil terhadap semua muridnya
  3. Berlaku sabar dan tenang
  4. Guru harus berwibawa
  5. Guru harus gembira
  6. Guru harus bersifat manusiawi
  7. Bekerjasama dengan guru-guru lain
  8. Bekerjasama dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik bukanlah hal yang mudah, mengingat semua kriteria dan tugas-tugas diatas pada intinya bertujuan membantu agar anak didik memperoleh perubahan tingkah laku dalam rangka mencapai tingkat perkembangan yang optimal. Tugas ini dipandang berat, mengapa dianggap berat ? karena yang di didik adalah kader-kader bangsa yang semuanya serba unik dan komplek. Dikatakan unik sebab setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik secara jasmani maupun rohani. Kemudian dikatakan kompleks, sebab pada intinya pendidikan ditujukan pada pembentukan kepribadian secara utuh yang mencakup semua aspek kehidupan.
        
Berdasarkan hal inilah, maka pendidik dituntuk untuk senantiasa meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan dan kualitas pendidikannya, sehingga mampu menjadi pendidik yang sukses dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.

b. Peserta Didik 

Peserta didik/murid adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. 

Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

Dalam pengertian pendidikan secara umum, yang disebut peserta didik atau murid adalah sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam pengertian sempit dan khusus, peserta didik dapat diartikan sebagai anak yang belum dewasa dan tanggung jawabnya diserahkan kepada pendidik. Anak didik dalam pendidikan Islam ialah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan (Darajat, Z., 1993: 35)
 
Ahmad Tafsir (2006: 165) menjelaskan dari sisi bahasa bahwa sebutan murid bersifat umum, sama umunya dengan anak didik dan peserta didik. Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam. Didalam Islam istilah ini diperkenalkan oleh kalangan shufi. Istilah murid dalam tasawuf mengndung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid pada guru (mursyid)-nya. Selanjutnya sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Dan sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menkankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

Maka kalau kita simpulkan dari pengertian diatas bahwa istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, karena istilah ini berisi konsep yang lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia yang memiliki kemanusiaan yang tinggi.

Imam al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Zainudin, dkk. (1991: 64) mempergunakan istilah anak didik dengan beberapa kata, seperti; al- shabiy (kanak-kanak), kemudian al-Muta’allim (pelajar), dan al-thaalibul ‘ilmi (yang mencari ilmu) maka istilah anak didik dapat diartikan: anak yang sedang menjalani perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dari pendidikan.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa anak didik adalah orang yang sedang mendapatkan bimbingan dan latihan untuk mencapai kedewasaannya sehingga menjadi manusia yang baik secara jasmani dan rohani.

B. Peran Pendidik dan Etika Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

1.    Peran dan Tugas Pendidik

Pendidik memegang peran yang sangat penting dalam pembentukan sebuah generasi. Tanggung jawab yang diembannya sangat besar. Ahmad Syauki, seorang penyair Mesir, sebagaimana yang dikutip oleh Fuad al-Syalhub (2006: 2) menyatakan bahwa guru itu hampir seperti rasul. Kalau kita renungkan mungkin tidaklah terlalu berlebihan. Karena memang pada dasarnya, antara rasul dan guru memiliki tugas dan peran yang sama yaitu mendidik, mengajar, dan membina umat.

Guru menjadi duta-duta Nabi dalam menyebarkan agama Islam ke penguasa-penguasa daerah tertentu. Kemudian setelah negara Islam bertambah luas maka disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak muda dan masyarakat (Langgulung, H., 2004: 195).          

Peran ialah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri-ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar-mengajar (Oemar Hamalik, 2004: 32). 

Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 667) bahwa peran adalah seperangkat tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang 

Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan peran guru, al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2009: 67) menyebutkan tujuh peranan pendidik, yaitu:
  1. Guru ialah sebagai orang tua kedua di depan peserta didik.
  2. Guru sebagai pewaris ilmu nabi.
  3. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan peserta didik.
  4. Guru sebagai sentral figur bagi peserta didik
  5. Guru sebagai motivator bagi peserta didik
  6. Guru sebagai orang yang memahami tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
  7. Guru sebagai teladan bagi peserta didik.
Oemar Hamalik (2004: 33-34) menjelaskan, bahwa sedikitnya ada dua peran sebagai seorang pendidik, yaitu sebagai pengajar dan pembimbing. Guru sebagai pengajar artinya memberikan pelayanan kepada peserta didik agar mereka menjadi anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah itu. Guru sebagai pembimbing, artinya guru harus memberikan bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya Wina Sanjaya (2005: 147) menjelaskan bahwa ketika ilmu pengetahun masih terbatas, ketika penemuan hasil teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang, maka peran guru disekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan artinya guru berperan sebagai sumber belajar (learning resources) bagi anak didik.

Selanjutnya Wina Sanjaya (2008: 280-) menjelaskan bahwa guru/pendidik dalam proses pembelajaran memiliki peran yang sangat penting, bagaimanapun hebatnya kemajuan teknoligi, peran guru akan tetap diperlukan. Adapun beberapa peran guru, yaitu:
  1. Guru sebagai sumber belajar
  2. Guru sebagai fasilitator
  3. Guru sebagai pengelola
  4. Guru sebagai demonstrator
  5. Guru sebagai pembimbing
  6. Guru sebagai motivator
  7. Guru sebagai evaluator

Fuad al-Syalhub (2006: 49-63) menjelaskan, bahwa ada 7 (tujuh) peran dan kewajiban sebagai Pendidik:
  1. Menanamkan akidah yang benar dan memperkokoh keimanan ketika mengajar.
  2. Memberi nasihat kepada peserta didik. Sebagaimana  hadits yang diterima dari Tamim bin Aus al-dari ra. bahwasannya Nabi Muhammad saw. bersabda “Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya.”
  3. Bersikap lembut terhadap peserta didik dan mendidiknya dengan cara baik.
  4. Tidak terang-terangan menyebutkan nama ketika mencela seseorang.
  5. Mengucapkan salam kepada peserta didik sebelum dan sesudah pelajaran berlangsung.
  6. Memberikan hukuman ketika mengajar.
  7. Memberikan hadiah kepada peserta didik. 
2. Pengertian Akhlak / Etika

Menurut bahasa kata etika identik dengan akhlak yang berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluq yang mengandung beberapa arti, di antaranya: Atabiat (sifat yang terbentuk tanpa dikehendaki dan diupayakan, adat (sifat yang diupayakan melalui latihan), dan watak yaitu hal-hal yang menjadi tabiat diupayakan hingga menjadi adat (Sa’adudin, A. 2006: 15).

Sedangkan menurut istilah, Imam al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Abdul Mu’min Sa’adudin ( 2006: 18) menyatakan bahwa akhlak ialah kekuatan pengetahuan, kekuatan emosi, kekuatan keinginan atau nafsu dan kekuatan keadilan.
   
Akhlak merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “khuluqun “ diartikan sebagai perangai atau budi pekerti, gambaran batin atau tabiat karakter. Kata akhlak serumpun dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian dan bertalian dengan wujud lahir atau jasmani. Sedangkan akhlak bertalian dengan faktor rohani, sifat atau sikap batin. Faktor lahir dan batin adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya jasmani dan rohani (Zuhairini, dkk. 2008: 50)
   
Ahmad Tafsir (2006: 121) mendefinisikan, bahwa akhlak adalah budi pekerti yang ditentukan oleh agama. Dalam arti inilah Nabi Muhammad saw. diutus untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Akhlak ialah ukuran baik-buruk manusia menurut agama.
   
Atas dasar beberapa pendapat diatas, dapat kita simpulkan bahwa akhlak merupakan suatu aturan yang bersifat universal yang mengatur jasmani dan rohani. Akhlak merupakan pokok esensi ajaran Islam pula, disamping akidah dan syari’ah, karena dengan akhlak akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi.

3. Etika Peserta Didik menurut Pendidikan Islam
   
Dalam kegiatan pendidikan, peserta didik merupakan unsur yang sangat menentukan, disamping unsur pendidik. Karena keduanya merupakan aset hidup yang mampu mengolah dan melaksanakan unsur-unsur yang lainnya, yang merupakan aset mati. Peserta didik adalah manusia yang mampu dididik dan membutuhkan pendidikan dalam rangka mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai bekal beribadah kepada Allah swt. Oleh karena itu ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka seseorang yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan akhlak yang mulia sebagai persiapan diri demi keberhasilannya.
   
Selanjutnya berkaitan dengan etika yang harus dimiliki oleh Peserta didik menurut Ibnu Jamaah, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 244-246) ada beberapa syarat, yaitu:
  1. Harus mensucikan hatinya dari sifat-sifat tercela.
  2. Niat yang baik dan ikhlas dalam menuntut ilmu.
  3. Segera menuntut ilmu sejak usia muda dan sampai akhir hayatnya.
  4. Menghindarkan diri dari kesibukan dunia dan merasa cukup dengan apa yang ada.
  5. Mengatur waktunya untuk belajar dan mengajar.
  6. Hendaknya meninggalkan makanan yang menyebabkan ia mudah lupa dalam memahami dan menghafal pelajarannya.
  7. Harus taat dan tawadhu dalam segala urusan.
Sa’id Hawwa, sebagaimana yang dikutif oleh Hasan Langgulung (2006: 166-168) menjelaskan adab dan tugas peserta didik (yang dapat juga disebut sifat-sifat peserta didik) sebagai berikut:
  1. Peserta didik harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya.
  2. Peserta didik harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiyah, karean kesibukan itu akan melengangkannya dari menuntut ilmu.
  3. Tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru.
  4. Harus mendahulukan menuntut ilmu yang paling penting untuk dirinya.
  5. Tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkanj berurutan dari yang paling penting.
  6. Tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya.
  7. Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya.
Memuliakan ilmu pengetahuan sebagaimana juga memuliakan guru adalah masalah yang esensial bagi peserta didik. Pelajar yang tidak menghormati guru dan bahan belajar yang dipelajari akan menimbulkan kebodohan dalam dalam seluruh kehidupan dan tidak akan memperoleh keuntungan dari kemuliaan belajar (Al-Jarnuzi, Tth. 16).

Selanjutnya berkaitan dengan etika peserta didik, Syekh al-Jarnuzi menjelaskan sebagai berikut:
  1. Seorang peserta didik tidak boleh berjalan di hadapan guru
  2. Peserta didik tidak boleh duduk di tempat guru duduk
  3. Peserta didik tidak boleh berbicara tanpa minta izin guru
  4. Seorang peserta didik harus mematuhi apa yang diperintahkan guru, kecuali guru tersebut melawan atau bertentangan dengan kehendak Tuhan.
  5. Seoarng peserta didik harus mendengarkan uraian yang diberikan guru dengan perhatian yang penuh, sekalipun peserta didik sebelumnya pernah mendengarkan uraian tersebut.  
Menurut Hasyim Asy’ari, sebagaimana yang dikutip oleh Suwito dan Fauzan (2003: 356-361) menjelaskan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu:
  1. Hendaklah membersihkan hatinya dari segala kebencian, kedengkian, akidah yang ruksak dan akhlak yang bobrok.
  2. Hendaklah memperbagus niat dalam mencari ilmu dengan tuua mendekatkan diri pada Allah swt.
  3. Hendaklah bersegera mencari ilmu pada masa mudanya dan selama hayatnya karena waktu terus berjalan dan tak pernah kembali.
  4. Hendaklah puas dengan pakaian dan makanan yang ada.
  5. Hendaklah membagi waktu siang dan malam.
  6. Wara’ dalam setiap keadaan dan makanan, minuman, pakaian serta tempat tinggalnya.
  7. Hendaknya menyedikitkan tidurnya sepanjang tidak membawa dampak buruk bagi kesehatan jasmani.
  8. Hendaknya meninggalkan al-Isyrakh (pergaulan yang membuang-buang waktu) karena sesungguhnya meninggalkannya termasuk sesuatu yang lebih penting, yang seharusnya dilakukan oleh penuntutilmu.
Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah peserta didik, sedangkan guru bertugas membimbingnya, berperan sebagai penunjuk jalan dalam belajar. Seorang peserta didik yang belajar tanpa bimbingan atau arahan dari guru, apalagi yang dipelajari adalah berbagai disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu. Karena belajar merupakan proses panjang, maka al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn (2009: 77-78) menyarankan agar peserta didik/peserta didik sebagai langkah pertama dalam belajarnya harus mensucikan jiwa dari perilaku buruk, sifat-sifat tercela, dan budi pekerti yang rendah, seperti marah, dengki, hasud, ujub, takabur, riya, dll.

Dari pemaparan sederhana diatas terlihat, bahwa pendapat para ahli pendidikan lebih cenderung bersifat akhlaqi artinya etika yang harus dimiliki oleh peserta didik lebih mengedepankan akhlak dan moral. Pada akhirnya diaharapkan para peserta didik akan menjadi generasi yang cerdas yang berakhlak mulia.
           
Demikian Nilai Pendidikan QS Al Kahfi Ayat 66-70 Bab III tentang pandangan para ahli pendidikan mengenai peranan guru dalam membimbing peserta didiknya. Terima kasih atas kunjungannya dan semoga bermanfaat.

       

Post a Comment for "Pandangan Para Ahli Pendidikan Tentang QS. Al Kahfi Ayat 66-70 Bab III"