Peranan Pendidikan Keluarga dalam Pembinaan Akidah
Peranan Pendidikan Keluarga dalam Pembinaan Akidah. Hi .. sobat pa kabar ! mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT, amiin. Kali ini saya akan berbagi artikel yang diambil dari sebuah skripsi teman yang isinya sangat penting sekali terutama bagi keluarga yang sedang menata, dan membangun sebuah keluarga untuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah terutama bagaimana cara menanamkan akidah sejak dini. Ok langsung saja ke materinya.
1. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik. Apabila diberi awalan me, menjadi mendidik. Maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
- Istilah pendidikan dalam kontek Islam telah banyak dikenal dengan menggunakan term yang beragam, seperti at-Tarbiyah, at-Ta’lim, dan at-Ta’dib. Setiap term tersebut mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-hal tertentu, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pengertian.
- Pemakaian ketiga bahasa tersebut, apalagi pengkajiannya dirujuk berdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah). Selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertian pendidikan Islam secara substansial, pengkajian melalui al-Quran dan al-Sunnah pun akan memberi makna filosofis tentang bagaimana sebenarnya hakikat dari penididikan Islam tersebut?
Dalam al-Quran Allah swt. memberikan sedikit gambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, membesarkan dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks surat al-Isra, makna at-Tarbiyah sedikit lebih luas menckup aspek jasmani dan rohani, sedangkan dalam surat asy-Syura hanya menyangkut aspek jasmani saja
Pendidikan memang bukan sekedar transfer pengetahuan, pembinaan mental, jasmani dan intelek semata, akan tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan diperaktekan dalam perilaku sehari-hari.(Nata, A. 2003: 11)
Menurut Rasi’in (2003: 10) pendidikan dapat diartikan secara sempit, dan dapat pula diartikan secara luas. Secara sempit dapat diartikan bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan secara luas adalah segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya menjadi orang yang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.
Definisi di atas mengandung pengertian yang lebih luas, yakni menyangkut perkembangan dan pengembangn manusia. Namun demikian , pengertian tersebut masih terbatas pada persoalan-persoalan duniawi (keduniaan). Dengan kata lain, belum memasukkan aspek spritual religius sebagai bagian terpenting yang mendasari perkembangan dan pengembangan manusia dalam proses pendidikan.
Menurut Filsafat Plato (dalam Wahab, R.2009: 9) pendidikan yaitu proses yang terarah dan memikat anak menuju jalan yang telah digariskan oleh undang-undang serta menguatkan keseimbangan pengetahuan akal dan pemikiran
Menurut Festalozi (dalam Wahab, R. 2009: 12) pendidikan adalah perkembangan kekeuatan dan instuisi manusia dengan perkembangan alamiah penuh keserasian dan keselarasan.
Menurut Herbert Spencer (dalam Wahab, R. 2009: 13) pendidikan merupakan persiapan dalam menghadapi kehidupan yang sempurna.
Menurut Bertan Russel (dalam Wahab, R. 2009 13) pendidikan adlah kerja keras yang telah dilakukan oleh nenek moyang dan para tenaga pendidik suatu bangsa untuk menciptakan generasi masa depan atas dasar pandangan hidup yang mereka yakini.
Syed Naquib al Attas dalam hal ini menyatakan, bahwa pendidikan berasal dari kata ta’dib. Memang terdapat kata lain yang berkaitan pendidikan selain kata ta’dib, yakni terbiyah, akan tetapi terbiyah lebih menekankan keada mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, dan menjadikan bertambah dalam pertumbuhan.Selanjutnya Naquib mengatakan bahwa: penekanan pada adab yang mencakup dalam amal pendidikan dan proses pendidikan, adalah untuk menjamin bahwa ilmu pengetahuan dipergunakan secara baik dalam masyarakat. Karena alasan inilah orang-orang bijak terdahulu mengombinasikan ilmu dengan amal dan adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.
Pendidikan memang bukan sekedar transfer pengetahuan, pembinaan mental, jasmani dan intelek semata, akan tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan diperaktekan dalam perilaku sehari-hari.(Nata, A. 2003: 11)
Menurut Rasi’in (2003: 10) pendidikan dapat diartikan secara sempit, dan dapat pula diartikan secara luas. Secara sempit dapat diartikan bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan secara luas adalah segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya menjadi orang yang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.
Definisi di atas mengandung pengertian yang lebih luas, yakni menyangkut perkembangan dan pengembangn manusia. Namun demikian , pengertian tersebut masih terbatas pada persoalan-persoalan duniawi (keduniaan). Dengan kata lain, belum memasukkan aspek spritual religius sebagai bagian terpenting yang mendasari perkembangan dan pengembangan manusia dalam proses pendidikan.
Menurut Filsafat Plato (dalam Wahab, R.2009: 9) pendidikan yaitu proses yang terarah dan memikat anak menuju jalan yang telah digariskan oleh undang-undang serta menguatkan keseimbangan pengetahuan akal dan pemikiran
Menurut Festalozi (dalam Wahab, R. 2009: 12) pendidikan adalah perkembangan kekeuatan dan instuisi manusia dengan perkembangan alamiah penuh keserasian dan keselarasan.
Menurut Herbert Spencer (dalam Wahab, R. 2009: 13) pendidikan merupakan persiapan dalam menghadapi kehidupan yang sempurna.
Menurut Bertan Russel (dalam Wahab, R. 2009 13) pendidikan adlah kerja keras yang telah dilakukan oleh nenek moyang dan para tenaga pendidik suatu bangsa untuk menciptakan generasi masa depan atas dasar pandangan hidup yang mereka yakini.
Menurut John Dewey (dalam Wahab, R. 2009: 14):
Pendidikan adalah cara yang mulia dan edukatif dalam menopang keyakinan suatu umat, atau suatu negeri. Dan nutrisinya adalah dengan memberikan kepuasan berlandas kepada kepercayaan, respect dan tunduk kepada argumentasi-argumentasi ilmiah jika dibutuhkan dan sarana yang mulia untuk mengabdikan dan mentransformasikan keyakinan ini secara sehat kepada generasi yang akan datang.
Menurut UU no 20 tahun 2003 Sisdiknas Bab I Pasal 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Marimba, A. (dalam Tafsir, A. 2007: 6) mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Menurut M. Arifin, pendidikan dapat diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) yang mengahasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah swt.
Menurut Murtani, yang di kutip Nata, A. (2003: 210):
Pendidikan dapat dibedakan dari dua pengertian, pengertian yang bersifat teoritik filosofis, dan pengertian yang bersifat pendidikan dalam arti praktis.
Pengertian pendidikan dalam arti teoritik filosofis adalah pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori teori baru dengan mendasarkan pada pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, nasional filosofis, maupun historik filosofis.
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan. Pendidikan berarti memelihara hidup ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
Menurut Purwanto. N (2007: 11) pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.
Menurut Rupert C. Lodge dalam Philosophy of Education, (dalam Tafsir, A. 2007: 5) menyatakan bahwa:
Dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Anak mendidik orang tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Semua yang kita sebut dan atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian yang luas ini kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Secara sempit pendidikan adalah pendidikan di sekolah; jadi pendidikan adalah pendidikan formal.
Melihat dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis bisa mengambil intisari dari pendidikan bahwasanya pendidikan mengarah kepada pembentukan manusia yang sempurna (insan kamil). Sempurna dalam pemikiran (aqliyah), kejiwaan (ruhiyah), fisik dan psikis dalam bimbingan keberagamaan.
2. Pengertian Keluarga
Langgulung, H. (2007: 290) mengatakan: keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besarnya, bersifat hubungan-hubungan langsung. Di situlah berkembang individu dan di situlah terbentuknya tahap-tahap awal proses pemasyarakatan (socializition), dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu ia memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
Keluarga dalam pengertian sempit merupakan suatau unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang permpuan yang bersifat terus menerus di mana yang satumerasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami istri dikarunia seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping unsur sebelumnya.
Menurut Othman (dalam Langgulung, H. 2007: 298) keluarga adalah kelompok kecil manusia yang perlu kepada seseorang yang menjalankannya, memimpin dan menyediakan baginya segala kemudahan pemeliharaan penjagaan dan perlindungan, oleh sebab itu perlulah keluarga mempunyai seorang kepala atau penanggungjawab utama, dalam hal ini adalah suami. Tetapi tidak berarti mengurangi hak wanita, atau merendahkan diri dan kehormatannya. Firman Allah swt. dalam surat al-Nisaa ayat 34:
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka……(Depag RI, 1989: 123).
Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim. Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usrah yang berasal dari kata al-Asru yang secara etimologis mampunyai arti ikatan.
Al- Razi mengatakan al-Asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998)
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalaui pertalian darah adaptasi atau perkawinan (WHO, 1969)
Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie, 1981)
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Murdock, P. 1949) .
Keluarga merupakan unit terkecil di mana berbagai keputusan diambil, dan nilai-nilai luhur tentang kesetaraan dan keadilan gender ditanamkan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarga itu berada. Tanpa adanya pemahaman akan konsep dan nilai-nilai yang berkesetaraan dan berkeadilan di dalam keluarga sejak dini, bahkan sejak anak berada dalam kandungan, maka besar kemungkinan nilai-nilai tersebut tidak bisa diaplikasikan di dalam kehidupan suatu keluarga.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian keluarga adalah unit terkecil yang di dalamnya ada pimpinan dan yang dipimpin sehingga terbentuk keserasian, saling melindungi, merasa aman dan merasa tenteram untuk mencapai kemaslahatan.
3. Pengertian Pendidikan Keluarga
Dari pengertian pendidikan dan keluarga di atas maka pengertian pendidikan keluarga dapat kita gambarkan sebagai suatu perbuatan dan usaha yang sengaja dilakukan oleh generasi tua (orang tua si anak) untuk mengalihkan pengetahuannya, kecakapan serta ketrampilannya dan akhlak terpuji serta tata susila kepada generasi muda (anak atau tanggungannya) sebagai usaha penyiapannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniahnya yang institusi tempat berlansungnya adalah didalam sebuah keluarga.
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat (Langgulung, H. 2004: 292)
4. Urgensi pendidikan dalam keluarga
Dalam mendidik anak-anak itu, sekolah melanjutkan pendidikan anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam kelurga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.
Demikianlah, tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga bagi perkembangan anak-anak menjadi manusia yang berpribadi dan berguna bagi masyarakat. Tentang pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga itu telah dinyatakan oleh banyak ahli didik dari zaman yang telah lampau.
Comenius (dalam Purwanto, N. 2007: 79) seorang ahli didaktik yang terbesar, dalam buku Didaktika Magna, di samping mengemukakan asas-asas didaktiknya yang sampai sekarang masih dipertahankan kebenarannya, juga menekankan betapa pentingnya pendidikan keluarga itu bagi anak-anak yang sedang berkembang. Dalam uraiannya tentang tingkatan-tingkatan sekolah yang dilalui oleh anak sampai mencapai tingkat kedewasaannya, ia menegaskan bahwa tingkat permulaan bagi pendidikaan anak-anak dilakukan di dalam keluarga yang disebutnya scola-materna (sekolah ibu). Untuk tingkatan ini bagaimana orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan bijaksana, untuk memuliakan Tuhan dan untuk keselamatan jiwa anak-anak.
J.J. Rousseau (dalam Purwanto, N. 2007: 79) . sebagai salah seorang pelopor ilmu jiwa anak, mengutarakan pula betapa pentingnya pendidikan keluarga itu. Ia menganjurkan agar pendidikan anak-anak disesuaikan dengan tiap-tiap masa perkembangannya sedari kecilnya. Dasar pendidikan menurut dia adalah alam anak-anak yang belum rusak; anak-anak harus dididik sesuai dengan alamnya. Kata-kata Rousseau yang penting dan selalu menjadi pedoman bagi kaum pendidik ialah anak itu bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Pikiran, perasaan, keinginan, dan kemampuan anak itu berbeda dengan kemampuan orang dewasa.
C.G. Salzmann (dalam Purwanto, N. 2007: 80), seorang penganut aliran philantropinum, juga telah mengeritik dan mengecam pendidikan yang telah dilakukan oleh para orang tua waktu itu. Salzmann mengatakan bahwa segala kesalahan anak-anak itu adalah akibat dari perbuatan pendidik-pendidiknya, terutama orang tua. Orang tua pada masa itu dipandangnya sebagai penindas yang menyiksa anaknya dengan pukulan yang merugikan kesehatannya, dan menyakiti perasaan-perasaan kehormatannya. Di sini Salzmann hendak menunjukkan bahwa pendidikan keluarga atau orang tua penting sekali. Ia menunjukkan betapa besar pengaruh lingkungan alam sekitar terhadap pertumbuhan dan pendidikan anak-anak.
Pestalozzi (dalam Purwanto, N. 2007: 80), seorang ahli pendidikan yang kenamaan, telah mengabdikan tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk kepentingan anak-anak. Dia mengatakan bahwa pendidikan keluarga sebagai unsur pertama dalam kehidupan masyarakat. Dan pendidikan agama merupaka pelajaran penting bagi anak-anak.
Al-Qabisi (dalam Suwito dan fauzan, 2003: 106)), beliau menawarkan tentang prinsip dalam persoalan pendidikan, lebih menyangkut pada persoalan asasi sebuah instutusi pendidikan agama. Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip yang coba diaplikasikan, di antaranya beliau berpendapat bahwa orang tua bertanggungjawab terhadap pendidikan di rumah. Kewajiban mengajarkan al-Quran kepada anak-anak adalah tanggungjawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anak belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Quran. Jika tidak mampu juga, maka hendaklah orang tua dibebankan kepada bait al-maal.
Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi penanggung jawab pendidikan adalah orang tua, guru, dan pemerintah. Orang tua sebagi pendidik pertama. Dalam persoalan ini, beliau berpendapat bahwa seharusnya (yang pertama kali) berkewajiban memberikan pengajaran adalah kedua orang tua. Baginya, orang tuanyalah (seharusnya) mengajarkan anaknya tentang agama. Kewajiban tersebut sama seperti halnya orang tua memberikan nafkah untuk kehidupan mereka.
Ahmad Tafsir, A. (dalam Suwito dan fauzan. 2003: 106) mengatakan bahwa dalam Islam orang yang paling bertanggungjawab dalam pendidikan adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik. Tanggung jawab tersebut disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan mendidik anak-anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu kepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Artinya orang tualah yang semestinya secara dominan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Karena orang tualah yang mempunyai banyak waktu dalam memberikan pendidikan, di samping secara psikologis antara keduanya memiliki kedekatan emosional yang sangat erat.
Zuraiq, M. (2008: 35), mengatakan anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu tumbuh, sedang dalam dirinya mengkristal banyak pengaruh yang mengukir kepribadiannya, akhlaknya, dan kecenderungan-kecenderungannya sedemikian rupa. Hanya saja, pengaruh paling kuat dan paling kekal adalah pengaruh yang datang dari lingkungan keluarga di mana dia hidup dan berkembang sejak kecil.
1. Namun demikian, di zaman sekarang pengaruh keluarga itu melemah, karena kondisi-kondisi sosial, politik, maupun peradaban yang cenderung membantu anak itu untuk terlepas dari dominasi orang tua. Di samping saat ini keluarga telah kehilangan sekian banyak ciri-ciri khasnya sebagai wahana pendidikan.
Dulu memang keluarga sebagai unit produksi dan unit konsumsi. Namun, tatkala sistem ekonomi sekarang menganut sistem pembagian kerja dan spesialisasi yang menyempit, maka banyaklah tanggung jawab kelurag seperti tadi yang kemudian berpindah kepada beberapa orang yang engkhususkan diri dengan profesi tertentu, seperti pembuat roti, pemintal benang, penenun, dan lain-lain. Dari sini, akhirnya anak sekarang tidak mendapatkan kesmpatan untuk mengenyam pengajaran dan pendidikan yang bersumber dari keluarga.
2. Namun demikain, rumah masih berperan dalam pendidikan dan pengaruhnya dalam memberi pengarahan pun masih ada. Antara lain bahwa bersandarnya anak secara total kepada kedua orang tuanya di tahun-tahun pertama dalam hidupnya, membuat dia terpengaruh oleh keduanya melalui peniruan, sehingga anak itu menyesuaikan diri dengan anggota keluarganya.
Yusuf, S. (2005: 34) mengatakan: keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Al-Quran, surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya “wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….”, ayat ini menunjukkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
Mengenai pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi anak, nabi Muhammad saw., bersabda: “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956: 434) berpendapat bahwa keluarga merupakan training centre bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
Peranan keluarga ini terkait dengan upaya-upaya orang tua dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir ( kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agama pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka berada dalam kandungan.
Karzun, A.A (2006: 26) mengatakan, mendidik anak adalah tanggung jawab yang besar. Ayah dan ibu memiliki peran masing-masing dalam tanggung jawab ini agar anak-anak tumbuh menjadi generasi yang baik. Pendidikan anak-anak harus dimulai sejak mereka masih kecil. Mereka harus diajarkan akan keteguhan menjalankan hukum-hukum Islam, etika Islam dan konsisten di dalam petunjuk Islam. Mereka harus diperkenalkan kepada hak dan kewajiban. Inilah benih pertama untuk membentuk seorang lelaki yang baik dan seorang wanita yang baik, agar masyarakat muslim menjadi masyarakat yang cerah dengan kebahagiaan dan ketenangan.
Memang, tidak sedikit orang tua yang tidak memahami tanggung jawab ini. Inilah yang menyebabkan lahirnya generasi yang tidak bisa memahami perannya dalam kehidupan dan yang tidak berjalan dengan mata hatinya dalam menghadapi berbagi masalah.
Seorang ayah memiliki posisi penting dalam keluarga. Dia adalah penaggung jawab utama dalam mengarahkan dan merawat anak-anak. Tanggung jawab ini dimulai dengan pilihan terhadap calon istri yang baik, yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi teman baginya dalam merawat dan mendidik anak-anaknya. Allah telah menggambarkan istri-istri yang baik dengan firman-Nya:
……sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…..
Dengan wanita seperti itulah keluarga muslim akan terbentuk dan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, serta lahan yang subur bagi tumbuhnya pohon-pohon yang baik.
Alangkah indahnya jika usaha orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak dihiasi dengan sikap bijaksana, kelembutan dan kasih sayang. Orang tua harus menanamkan iman ke dalm hati mereka, hingga allah dan Rasul-Nya menjadi lebih dicintai dari yang lainnya. Selanjutnya, orang tua juga harus menjauhkan mereka dari kerusakan, kejahatan dan teman-teman yang jahat.
Dalam mendidik anak, orang tua harus berpegang pada prinsip-prinsip Islam, yaitu memudahkan, bijaksana dan moderat. Jika seorang ayah menemukan waktu yang tepat untuk menasihati dan mengarahkan anak-anaknya, maka gunakanlah kesempatan itu, dan jangan membuat mereka bosan. Terlalu banyak nasihat akan membosankan, dan pengaruhnya akan lemah sekali. Dan hasilnya bisa jadi malah sebaliknya. Rasulallah saw. jarang-jarang menasihati para sahabatnya, karena beliau khawatir mereka akan merasa bosan. Padahal para sahabat sangat menyukai mendengarkan nasihat dan wejangan dari beliau. Dan mereka sangat mengharapkan menerima hadis-hadis mulia dari beliau.
Dalam mendidik anak, orang tua harus menggunakan metode anjuran (at-targhib) dan ancaman (at-tarhib) dengan tidak berlebihan dan tidak kurang. Keduanya harus berlomba memberikan kesadaran kepada anak-anaknya bahwa berdua menyayangi dan mengharapkan kebahagiaan mereka. Keduanya harus menghindari sikap keras yang akan melukai kemuliaan anak-anaknya dan merendahkannya. Lebih buruk lagi jika sikap keras dan merendahkan itu dilakukan dihadapan kerabat dan teman-teman si anak. Jika orang tua merasa perlu mencela anaknya, maka hindarilah celaan yang akan menyakiti perasaannya dan akan mendorongnya melakukan perbuatan yang tidak baik.
Aziz, A. (2004: 130), mengatakan: keluarga layaknya sebuah masyarakat kecil. Keluarga mempunyai anggota, peraturan, pemimpin, ukuran, program, dan kebiasaan. Mungkin di dalamnya banyak peran dan tanggung jawab yang harus dipegang. Keluarga adalah pengasuh pertama bagi individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya, sesuai dengan perkembangannya. Pendidikan dalam keluarga bisa jadi bersifat bebas, diktator, maju, atau ketinggalan zaman.
Fathullah, A. (2003: 198), mengatakan: proses belajar mengajar biasanya berlangsung intensif dalam keluarga inti, dengan kata lain anak mendapat nilai dari sikap atau nilai yang sesuai yang diajarkan oleh orang tua. Sehingga apabila yang fundamental (aqidah dan moral) saja tidak menyatu pada anak, maka anak tidak akan mempunyai pegangan hidup. Membangun keluarga dengan cinta adalah solusi mencontoh rasul dan keluarganya, dan sahabatnya.
Berubahnya sikap pelajar yang lain disebabkan oleh situasi dan kondisi kehidupan yang berubah. Banyak berbondong-bondong ingin hidup di kota (baik orang tuanya atau anaknya). Kondisi pas-pasan sehingga anak kehilangan perhatian orang tua. Kesalahan orang tua dalam mendidik anak dapat disebut: mempertebal perasaan harga diri kurang pada anak. Demikian juga dikatakan Zakiah Drajat, keadaan keluarga (hubungan ayah dan ibu) berpengaruh pada pendidikan kesehatan mental atau perkembangan jiwa anak. Konflik keluarga membuat anak tidak merasa aman di rumah. Konflik barangkali tidak dianggap sebagi konflik oleh orang tua. Tetapi bagi anak sudah menjengkelkan. Ia ingin menasihati tetapi tidak mampu mengungkapkan sehingga berbuat dengan protes berperilaku yang tidak semestinya. Bentuknya bisa dengan bentakan, pukulan, percekcokan, kurangnya kontrol di rumah atau di sekolah dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dan kesempatan pendidikan akan mempengaruhi diri, kecewa, marah, frustasi karena sejumlah tuntutan atau keperluan hidupnya yang tak terpenuhi. Mereka marah pada keluarga, sekolah, dan lingkungan yang merasatak ada kepastian masa depan, dalam kondisi ketidakpastian ini cenderung menerjang segala objek yang menghalanginya.
Daradjat, Z. (2008: 35) mengatakan: orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antaraorang tua dan anak.
Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya dan biasanya, seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang yang mula-mula dipercayai. Apapun yang dilakukan ibu dapat dimaafkannya, kecuali ia ditinggalkan. Dengan memahami segala sesuatu yang terkandung di dalam hati anaknya, juga jika anak telah mulai agak besar, disertai kasih sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya untuk selama-lamanya.
Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah itu melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada cara pekerjaan anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia mau mendekati dan dapat memahami hati anaknya.
Pada dasarnya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas itu berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga dengan yang bagaimanapun juga kadaannya. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dari watak rasa tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dn mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah Allah yang dibebankan kepada mereka.
Ditilik dari hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya tidak bisa dipikulkan kepada orang lain, sebab guru dan pemimpin umat umpamanya, dalam memikul tanggung jawab pendidikan hanyalah merupakan keikutserataan. Dengan kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah merupakan pelimpahan dari tanggung jawab orang tua yang karena satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna.
Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka:
Pendidikan adalah cara yang mulia dan edukatif dalam menopang keyakinan suatu umat, atau suatu negeri. Dan nutrisinya adalah dengan memberikan kepuasan berlandas kepada kepercayaan, respect dan tunduk kepada argumentasi-argumentasi ilmiah jika dibutuhkan dan sarana yang mulia untuk mengabdikan dan mentransformasikan keyakinan ini secara sehat kepada generasi yang akan datang.
Menurut UU no 20 tahun 2003 Sisdiknas Bab I Pasal 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Marimba, A. (dalam Tafsir, A. 2007: 6) mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Menurut M. Arifin, pendidikan dapat diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) yang mengahasilkan manusia yang berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah swt.
Menurut Murtani, yang di kutip Nata, A. (2003: 210):
Pendidikan dapat dibedakan dari dua pengertian, pengertian yang bersifat teoritik filosofis, dan pengertian yang bersifat pendidikan dalam arti praktis.
Pengertian pendidikan dalam arti teoritik filosofis adalah pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori teori baru dengan mendasarkan pada pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, nasional filosofis, maupun historik filosofis.
Pendidikan dalam arti praktis adalah suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan-pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai perkembangan cecara optimal serta membudayakan manusia melalui proses transformasi nilai-nilai utama.Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan. Pendidikan berarti memelihara hidup ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
Menurut Purwanto. N (2007: 11) pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.
Menurut Rupert C. Lodge dalam Philosophy of Education, (dalam Tafsir, A. 2007: 5) menyatakan bahwa:
Dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Anak mendidik orang tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Semua yang kita sebut dan atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian yang luas ini kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Secara sempit pendidikan adalah pendidikan di sekolah; jadi pendidikan adalah pendidikan formal.
Melihat dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis bisa mengambil intisari dari pendidikan bahwasanya pendidikan mengarah kepada pembentukan manusia yang sempurna (insan kamil). Sempurna dalam pemikiran (aqliyah), kejiwaan (ruhiyah), fisik dan psikis dalam bimbingan keberagamaan.
2. Pengertian Keluarga
Langgulung, H. (2007: 290) mengatakan: keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besarnya, bersifat hubungan-hubungan langsung. Di situlah berkembang individu dan di situlah terbentuknya tahap-tahap awal proses pemasyarakatan (socializition), dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu ia memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
Keluarga dalam pengertian sempit merupakan suatau unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang permpuan yang bersifat terus menerus di mana yang satumerasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami istri dikarunia seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di samping unsur sebelumnya.
Menurut Othman (dalam Langgulung, H. 2007: 298) keluarga adalah kelompok kecil manusia yang perlu kepada seseorang yang menjalankannya, memimpin dan menyediakan baginya segala kemudahan pemeliharaan penjagaan dan perlindungan, oleh sebab itu perlulah keluarga mempunyai seorang kepala atau penanggungjawab utama, dalam hal ini adalah suami. Tetapi tidak berarti mengurangi hak wanita, atau merendahkan diri dan kehormatannya. Firman Allah swt. dalam surat al-Nisaa ayat 34:
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka……(Depag RI, 1989: 123).
Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim. Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usrah yang berasal dari kata al-Asru yang secara etimologis mampunyai arti ikatan.
Al- Razi mengatakan al-Asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998)
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalaui pertalian darah adaptasi atau perkawinan (WHO, 1969)
Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie, 1981)
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Murdock, P. 1949) .
Keluarga merupakan unit terkecil di mana berbagai keputusan diambil, dan nilai-nilai luhur tentang kesetaraan dan keadilan gender ditanamkan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarga itu berada. Tanpa adanya pemahaman akan konsep dan nilai-nilai yang berkesetaraan dan berkeadilan di dalam keluarga sejak dini, bahkan sejak anak berada dalam kandungan, maka besar kemungkinan nilai-nilai tersebut tidak bisa diaplikasikan di dalam kehidupan suatu keluarga.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian keluarga adalah unit terkecil yang di dalamnya ada pimpinan dan yang dipimpin sehingga terbentuk keserasian, saling melindungi, merasa aman dan merasa tenteram untuk mencapai kemaslahatan.
3. Pengertian Pendidikan Keluarga
Dari pengertian pendidikan dan keluarga di atas maka pengertian pendidikan keluarga dapat kita gambarkan sebagai suatu perbuatan dan usaha yang sengaja dilakukan oleh generasi tua (orang tua si anak) untuk mengalihkan pengetahuannya, kecakapan serta ketrampilannya dan akhlak terpuji serta tata susila kepada generasi muda (anak atau tanggungannya) sebagai usaha penyiapannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniahnya yang institusi tempat berlansungnya adalah didalam sebuah keluarga.
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat (Langgulung, H. 2004: 292)
4. Urgensi pendidikan dalam keluarga
Dalam mendidik anak-anak itu, sekolah melanjutkan pendidikan anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam kelurga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam masyarakat.
Demikianlah, tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga bagi perkembangan anak-anak menjadi manusia yang berpribadi dan berguna bagi masyarakat. Tentang pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga itu telah dinyatakan oleh banyak ahli didik dari zaman yang telah lampau.
Comenius (dalam Purwanto, N. 2007: 79) seorang ahli didaktik yang terbesar, dalam buku Didaktika Magna, di samping mengemukakan asas-asas didaktiknya yang sampai sekarang masih dipertahankan kebenarannya, juga menekankan betapa pentingnya pendidikan keluarga itu bagi anak-anak yang sedang berkembang. Dalam uraiannya tentang tingkatan-tingkatan sekolah yang dilalui oleh anak sampai mencapai tingkat kedewasaannya, ia menegaskan bahwa tingkat permulaan bagi pendidikaan anak-anak dilakukan di dalam keluarga yang disebutnya scola-materna (sekolah ibu). Untuk tingkatan ini bagaimana orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan bijaksana, untuk memuliakan Tuhan dan untuk keselamatan jiwa anak-anak.
J.J. Rousseau (dalam Purwanto, N. 2007: 79) . sebagai salah seorang pelopor ilmu jiwa anak, mengutarakan pula betapa pentingnya pendidikan keluarga itu. Ia menganjurkan agar pendidikan anak-anak disesuaikan dengan tiap-tiap masa perkembangannya sedari kecilnya. Dasar pendidikan menurut dia adalah alam anak-anak yang belum rusak; anak-anak harus dididik sesuai dengan alamnya. Kata-kata Rousseau yang penting dan selalu menjadi pedoman bagi kaum pendidik ialah anak itu bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Pikiran, perasaan, keinginan, dan kemampuan anak itu berbeda dengan kemampuan orang dewasa.
C.G. Salzmann (dalam Purwanto, N. 2007: 80), seorang penganut aliran philantropinum, juga telah mengeritik dan mengecam pendidikan yang telah dilakukan oleh para orang tua waktu itu. Salzmann mengatakan bahwa segala kesalahan anak-anak itu adalah akibat dari perbuatan pendidik-pendidiknya, terutama orang tua. Orang tua pada masa itu dipandangnya sebagai penindas yang menyiksa anaknya dengan pukulan yang merugikan kesehatannya, dan menyakiti perasaan-perasaan kehormatannya. Di sini Salzmann hendak menunjukkan bahwa pendidikan keluarga atau orang tua penting sekali. Ia menunjukkan betapa besar pengaruh lingkungan alam sekitar terhadap pertumbuhan dan pendidikan anak-anak.
Pestalozzi (dalam Purwanto, N. 2007: 80), seorang ahli pendidikan yang kenamaan, telah mengabdikan tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk kepentingan anak-anak. Dia mengatakan bahwa pendidikan keluarga sebagai unsur pertama dalam kehidupan masyarakat. Dan pendidikan agama merupaka pelajaran penting bagi anak-anak.
Al-Qabisi (dalam Suwito dan fauzan, 2003: 106)), beliau menawarkan tentang prinsip dalam persoalan pendidikan, lebih menyangkut pada persoalan asasi sebuah instutusi pendidikan agama. Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip yang coba diaplikasikan, di antaranya beliau berpendapat bahwa orang tua bertanggungjawab terhadap pendidikan di rumah. Kewajiban mengajarkan al-Quran kepada anak-anak adalah tanggungjawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anak belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Quran. Jika tidak mampu juga, maka hendaklah orang tua dibebankan kepada bait al-maal.
Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi penanggung jawab pendidikan adalah orang tua, guru, dan pemerintah. Orang tua sebagi pendidik pertama. Dalam persoalan ini, beliau berpendapat bahwa seharusnya (yang pertama kali) berkewajiban memberikan pengajaran adalah kedua orang tua. Baginya, orang tuanyalah (seharusnya) mengajarkan anaknya tentang agama. Kewajiban tersebut sama seperti halnya orang tua memberikan nafkah untuk kehidupan mereka.
Ahmad Tafsir, A. (dalam Suwito dan fauzan. 2003: 106) mengatakan bahwa dalam Islam orang yang paling bertanggungjawab dalam pendidikan adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik. Tanggung jawab tersebut disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan mendidik anak-anaknya; kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu kepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Artinya orang tualah yang semestinya secara dominan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Karena orang tualah yang mempunyai banyak waktu dalam memberikan pendidikan, di samping secara psikologis antara keduanya memiliki kedekatan emosional yang sangat erat.
Zuraiq, M. (2008: 35), mengatakan anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu tumbuh, sedang dalam dirinya mengkristal banyak pengaruh yang mengukir kepribadiannya, akhlaknya, dan kecenderungan-kecenderungannya sedemikian rupa. Hanya saja, pengaruh paling kuat dan paling kekal adalah pengaruh yang datang dari lingkungan keluarga di mana dia hidup dan berkembang sejak kecil.
1. Namun demikian, di zaman sekarang pengaruh keluarga itu melemah, karena kondisi-kondisi sosial, politik, maupun peradaban yang cenderung membantu anak itu untuk terlepas dari dominasi orang tua. Di samping saat ini keluarga telah kehilangan sekian banyak ciri-ciri khasnya sebagai wahana pendidikan.
Dulu memang keluarga sebagai unit produksi dan unit konsumsi. Namun, tatkala sistem ekonomi sekarang menganut sistem pembagian kerja dan spesialisasi yang menyempit, maka banyaklah tanggung jawab kelurag seperti tadi yang kemudian berpindah kepada beberapa orang yang engkhususkan diri dengan profesi tertentu, seperti pembuat roti, pemintal benang, penenun, dan lain-lain. Dari sini, akhirnya anak sekarang tidak mendapatkan kesmpatan untuk mengenyam pengajaran dan pendidikan yang bersumber dari keluarga.
2. Namun demikain, rumah masih berperan dalam pendidikan dan pengaruhnya dalam memberi pengarahan pun masih ada. Antara lain bahwa bersandarnya anak secara total kepada kedua orang tuanya di tahun-tahun pertama dalam hidupnya, membuat dia terpengaruh oleh keduanya melalui peniruan, sehingga anak itu menyesuaikan diri dengan anggota keluarganya.
Yusuf, S. (2005: 34) mengatakan: keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Al-Quran, surat at-Tahrim ayat 6 yang artinya “wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….”, ayat ini menunjukkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
Mengenai pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi anak, nabi Muhammad saw., bersabda: “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956: 434) berpendapat bahwa keluarga merupakan training centre bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
Peranan keluarga ini terkait dengan upaya-upaya orang tua dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir ( kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agama pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka berada dalam kandungan.
Karzun, A.A (2006: 26) mengatakan, mendidik anak adalah tanggung jawab yang besar. Ayah dan ibu memiliki peran masing-masing dalam tanggung jawab ini agar anak-anak tumbuh menjadi generasi yang baik. Pendidikan anak-anak harus dimulai sejak mereka masih kecil. Mereka harus diajarkan akan keteguhan menjalankan hukum-hukum Islam, etika Islam dan konsisten di dalam petunjuk Islam. Mereka harus diperkenalkan kepada hak dan kewajiban. Inilah benih pertama untuk membentuk seorang lelaki yang baik dan seorang wanita yang baik, agar masyarakat muslim menjadi masyarakat yang cerah dengan kebahagiaan dan ketenangan.
Memang, tidak sedikit orang tua yang tidak memahami tanggung jawab ini. Inilah yang menyebabkan lahirnya generasi yang tidak bisa memahami perannya dalam kehidupan dan yang tidak berjalan dengan mata hatinya dalam menghadapi berbagi masalah.
Seorang ayah memiliki posisi penting dalam keluarga. Dia adalah penaggung jawab utama dalam mengarahkan dan merawat anak-anak. Tanggung jawab ini dimulai dengan pilihan terhadap calon istri yang baik, yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi teman baginya dalam merawat dan mendidik anak-anaknya. Allah telah menggambarkan istri-istri yang baik dengan firman-Nya:
……sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…..
Dengan wanita seperti itulah keluarga muslim akan terbentuk dan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, serta lahan yang subur bagi tumbuhnya pohon-pohon yang baik.
Alangkah indahnya jika usaha orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak dihiasi dengan sikap bijaksana, kelembutan dan kasih sayang. Orang tua harus menanamkan iman ke dalm hati mereka, hingga allah dan Rasul-Nya menjadi lebih dicintai dari yang lainnya. Selanjutnya, orang tua juga harus menjauhkan mereka dari kerusakan, kejahatan dan teman-teman yang jahat.
Dalam mendidik anak, orang tua harus berpegang pada prinsip-prinsip Islam, yaitu memudahkan, bijaksana dan moderat. Jika seorang ayah menemukan waktu yang tepat untuk menasihati dan mengarahkan anak-anaknya, maka gunakanlah kesempatan itu, dan jangan membuat mereka bosan. Terlalu banyak nasihat akan membosankan, dan pengaruhnya akan lemah sekali. Dan hasilnya bisa jadi malah sebaliknya. Rasulallah saw. jarang-jarang menasihati para sahabatnya, karena beliau khawatir mereka akan merasa bosan. Padahal para sahabat sangat menyukai mendengarkan nasihat dan wejangan dari beliau. Dan mereka sangat mengharapkan menerima hadis-hadis mulia dari beliau.
Dalam mendidik anak, orang tua harus menggunakan metode anjuran (at-targhib) dan ancaman (at-tarhib) dengan tidak berlebihan dan tidak kurang. Keduanya harus berlomba memberikan kesadaran kepada anak-anaknya bahwa berdua menyayangi dan mengharapkan kebahagiaan mereka. Keduanya harus menghindari sikap keras yang akan melukai kemuliaan anak-anaknya dan merendahkannya. Lebih buruk lagi jika sikap keras dan merendahkan itu dilakukan dihadapan kerabat dan teman-teman si anak. Jika orang tua merasa perlu mencela anaknya, maka hindarilah celaan yang akan menyakiti perasaannya dan akan mendorongnya melakukan perbuatan yang tidak baik.
Aziz, A. (2004: 130), mengatakan: keluarga layaknya sebuah masyarakat kecil. Keluarga mempunyai anggota, peraturan, pemimpin, ukuran, program, dan kebiasaan. Mungkin di dalamnya banyak peran dan tanggung jawab yang harus dipegang. Keluarga adalah pengasuh pertama bagi individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya, sesuai dengan perkembangannya. Pendidikan dalam keluarga bisa jadi bersifat bebas, diktator, maju, atau ketinggalan zaman.
Fathullah, A. (2003: 198), mengatakan: proses belajar mengajar biasanya berlangsung intensif dalam keluarga inti, dengan kata lain anak mendapat nilai dari sikap atau nilai yang sesuai yang diajarkan oleh orang tua. Sehingga apabila yang fundamental (aqidah dan moral) saja tidak menyatu pada anak, maka anak tidak akan mempunyai pegangan hidup. Membangun keluarga dengan cinta adalah solusi mencontoh rasul dan keluarganya, dan sahabatnya.
Berubahnya sikap pelajar yang lain disebabkan oleh situasi dan kondisi kehidupan yang berubah. Banyak berbondong-bondong ingin hidup di kota (baik orang tuanya atau anaknya). Kondisi pas-pasan sehingga anak kehilangan perhatian orang tua. Kesalahan orang tua dalam mendidik anak dapat disebut: mempertebal perasaan harga diri kurang pada anak. Demikian juga dikatakan Zakiah Drajat, keadaan keluarga (hubungan ayah dan ibu) berpengaruh pada pendidikan kesehatan mental atau perkembangan jiwa anak. Konflik keluarga membuat anak tidak merasa aman di rumah. Konflik barangkali tidak dianggap sebagi konflik oleh orang tua. Tetapi bagi anak sudah menjengkelkan. Ia ingin menasihati tetapi tidak mampu mengungkapkan sehingga berbuat dengan protes berperilaku yang tidak semestinya. Bentuknya bisa dengan bentakan, pukulan, percekcokan, kurangnya kontrol di rumah atau di sekolah dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dan kesempatan pendidikan akan mempengaruhi diri, kecewa, marah, frustasi karena sejumlah tuntutan atau keperluan hidupnya yang tak terpenuhi. Mereka marah pada keluarga, sekolah, dan lingkungan yang merasatak ada kepastian masa depan, dalam kondisi ketidakpastian ini cenderung menerjang segala objek yang menghalanginya.
Daradjat, Z. (2008: 35) mengatakan: orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antaraorang tua dan anak.
Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya dan biasanya, seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang yang mula-mula dipercayai. Apapun yang dilakukan ibu dapat dimaafkannya, kecuali ia ditinggalkan. Dengan memahami segala sesuatu yang terkandung di dalam hati anaknya, juga jika anak telah mulai agak besar, disertai kasih sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya untuk selama-lamanya.
Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah itu melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada cara pekerjaan anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia mau mendekati dan dapat memahami hati anaknya.
Pada dasarnya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas itu berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga dengan yang bagaimanapun juga kadaannya. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dari watak rasa tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dn mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah Allah yang dibebankan kepada mereka.
Ditilik dari hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya tidak bisa dipikulkan kepada orang lain, sebab guru dan pemimpin umat umpamanya, dalam memikul tanggung jawab pendidikan hanyalah merupakan keikutserataan. Dengan kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah merupakan pelimpahan dari tanggung jawab orang tua yang karena satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna.
Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka:
- Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
- Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agamaa yang dianutnya.
- Memberi pengajaran dalam srti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapai.
- Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim
B. Akidah
1. Pengertian Akidah Menurut Para Ahli
Menurut Abdullah (2009: 33-35) mengatakan bahwa definisi akidah terbagi dua:
1. Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi)
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah swt. dan diutusnya para Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
2. Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Adapun aqidah Islamiyyah maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
Aqidah Islamiyyah jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyah adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Adapun nama lain akidah Islamiyyah menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.
Menurut Ustadz Yazid (2009: 35) akidah mempunyai dua pengertian
1. Menurut Bahasa Arab (etimologi)
- Al aqdu ( ) berarti ikatan
- At-tautsiqu ( ) berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat
- Al ihkaamu ( ) berarti mengokohkan (menetapkan)
- Ar rabthu biquwwah ( ) berarti mengikat dengan kuat
2. Menurut istilah (terminologi )
Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya.
Akidah Islamiyyah adalah Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah swt. dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid (Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma' wa Shifatullah) dan taat kepada Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat- Nya, Rasul rasul-Nya, Kitab kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita berita qath't (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Quran dan al-Sunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Taofik Yusmansyah (2008: 11) memberikan penjelasan tentang definisi akidah.
Akidah berarti “ikatan”. Akidah seseorang artinya “ikatan seseorang dengan sesuatu”. Kata akidah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘aqada-ya’qudu-aqidatan. Setiap manusia mempunyai ikatan hati dengan sesuatu.
Dengan ikatan itu, hati menjadi condong kepadanya. Ada bermacam-macam ikatan hati manusia. Ada yang condong kepada patung, kepada dukun, setan, dan lain-lain. Inilah yang disebut dengan akidah yang salah. Adapun yang dimaksud dengan akidah Islam adalah ikatan hati seseorang terhadap Allah swt., yang diyakini melalui ajaran utusan-Nya, yaitu Muhammad saw. Ikatan ini senantiasa dibenarkan oleh jiwa, yang dengannya hati menjadi tentram serta menjadi keyakinan dan tidak ada keraguan serta kebimbangan di dalamnya.
Landasan akidah Islam adalah beriman kepada Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kiatab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada qada dan qadar-nya, yang baik maupun buruk. Hal ini kita kenal dengan rukun iman
Adanya ikatan hati antar kita dengan Allah swt., menjadi sesuatu yang sangat penting terutama berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kebutuhan menusia terhadap akidah (keyakinan) harus melebihi kebutuhan terhadap yang lainnya. Sebab tidak ada kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan bagi hati kecuali dengan beribadah kepada Allah swt., pencipta dan pemelihara segala sesuatu.
Chatibul Umam (2003: 12) mengatakan: pengertian aqidah terbagi dua:
1. Aqidah menurut bahasa
Aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu kata Aqd artinya ikatan dua utas tali menjadi satu buhul. Jadi aqidah adalah ikatan kehendak antara hamba (manusia) dan Khaliqnya (Allah). Kalau seseorang rela diikat oleh peraturan Allah atau rela diatur oleh Allah, maka orang ini diberi julukan .
Kata aqidah di dalam al-Quran bisa dilihat di antaranya dalam surat al-Maidah ayat 1, sebagai berikut
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu(*)…….
(*) Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat manusia dalam pergaulan dengan sesamanya.
Dalam surat at-Thahaa ayat 25-28 disebutkan:
25. berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku
26. dan mudahkanlah untukku urusanku,
27. dan lepaskanlah kekakuan (ikatan) dari lidahku,
28. supaya mereka mengerti perkataanku, (Depag RI, 1989: 478)
2. Arti aqidah menurut istilah
Aqidah adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tenteram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan seseorang yang bersih dari kebimbangan atau keraguan.
Setelah memperhatikan pengertian aqidah , baik menurut bahasa maupun istilah maka dapat ditarik pengertian Aqidah Islam. Aqidah Islam adalah dasar-dasar atau pokok-pokok kepercayaan atau keyakinan yang harus diyakinin kebenarannya oleh semua orang Islam, berdasarkan dalil-dalil naqli atau aqli. Dan kepercayaan itu harus betul-betul bersih dari kebimbangan atau keraguan, baik yang berhubungan dengan jasmani maupun rohani.
Hanafi, A (1992: 12) mengatakan arti tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa, Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dzat, sifat maupun perbuatan-Nya; Yang mengutus utusan-utusan untuk memberi petunjuk kepada alam dan umat manusia kepada jalan kebaikan; Yang meminta pertanggungjawaban seseorang di akhirat dan memberi balasan kepadanya atas apa yang telah diperbuatnya di dunia ini, baik atau buruk.
Syekh Safaaraini (dalam Syekh Muhammad, A. t.th: 3) mengatakan bahwa tauhid terbagi tiga, yaitu:
- Tauhid Rububiyah, yaitu meyakinkan bahwa tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengadakan, meniadakan kecuali Allah swt.
- Tauhid Uluhiyyah, yaitu memfokuskan hanya kepada Allah swt. dalam beribadah, rendah hati, hina diri, mencintai, membutuhkan, dan menghadapkan diri.
- Tauhid Sifaat, yaitu Allah swt. menyifati diri-Nya dengan sifat yang ada pada Zat-nya dan Nabi saw pun memberikan sifat kepada Allah dengan sifat yang ada pada Zat-Nya dalam sifat yang tetap dan yang harus tiada.
Syekh Bajuri (dalam Syekh Muhammad, A. t.th: 3) mengatakan bahwa tauhid adalah satunya Zat yang diibadahi dangan beribadah serta mengi’tikadkan satunya Zat Allah swt. dan membenarkannya pada zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan pekerjaan-pekerjaan-Nya.
Al-Jurjaani (2001: 68) mengatakan bahwa:
Al-Jurjaani (2001: 68) mengatakan bahwa:
- Tauhid menurut bahasa adalah menghukumi bahwa segala sesuatu itu satu, dan mengetahui bahwa segala sesuatu itu satu.
- Tauhid menurut istilah ahli hakikat adalah mengosongkan Zat Ketuhanan dari segala apa yang tergambar dalam pemahaman, dan dari khayalan yang terfikir dan terbersit dalam hati.
2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk Menanamkan Akidah Menurut Para Ahli
Upaya-upaya yang ditempuh oleh orang tua untuk menanamkan sikap keberagamaan khususnya dalam bidang akidah, tidak hanya dilakukan setelah anak lahir namun sebelum anak lahirpun sudah harus ada upaya.
Yusuf, S. (2005: 35) mengatakan: upaya orang tua dalam mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku kaeagamaan pada diri orang tua itu sendiri. Upaya-upaya yang seyogianya dilakukan orang tua (khususnya ibu) pada masa anak dalam kandungan itu di antaranya sebagai berikut.
Upaya-upaya yang ditempuh oleh orang tua untuk menanamkan sikap keberagamaan khususnya dalam bidang akidah, tidak hanya dilakukan setelah anak lahir namun sebelum anak lahirpun sudah harus ada upaya.
Yusuf, S. (2005: 35) mengatakan: upaya orang tua dalam mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku kaeagamaan pada diri orang tua itu sendiri. Upaya-upaya yang seyogianya dilakukan orang tua (khususnya ibu) pada masa anak dalam kandungan itu di antaranya sebagai berikut.
- Membaca doa pada saat berhubungan sebadan suami-istri yaitu “Allahumma jannibnasyaithana wajannibisyaithana mimma razaqtanaa” (Ya Allah, jauhkanlah kami dari godaan syaitan, dan jauhkanlah gangguan syaithan dari rizki (anak) yang Engkau anugerahkan kepada kami).”
- Meningktkan kualitas ibadah shalat wajib dan sunah
- Melaksanakan shalat sunat tahajud
- Mentadarrus al-Quran sampai khatam dan mempelajari tafsirnya.
- Memperbanyak dzikir kepada Allah, terutama setelah shalat fardlu.
- Memanjatkan do’a kepada Allah yang terkait dengan permohonan (1) “Rabbana hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota ‘yun waj’alnaa lil muttaqina imaamaa” (Ya Allah, Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami yang membahagiakan mata hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa); (2) “Rabbi hablii minashaalihiin” (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak-anak yang shalih).
- Memperbanyak shadaqah kepad fakir miskin atau yatim piatu.
- Menjauhkan diri dari makanan atau minuman yang diharamkan Allah, seperti minuan-minuman keras dan narkoba. Perilaku ini selain dibenci Allah, juga akan mengganggu kesehatan anak, bahkan dapat mengakibatkan kecacatan dirinya.
- Memelihara diri dari ucapan atau perbuatan yang diharamkan Allah, seperti menggunjing, menghina orang lain, dan bertengkar.
- Adapun upaya-upaya yang seyogianya dilakukan orang tua setelah anak lahir, di antaranya sebagai berikut.
- Pada saat anak berusia 7 hari, lakukanlah aqiqah,sebagai sunnah rasulullaah saw., yaitu; (1) menyembelih kambing atau domba (bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor); (2) mencukur rambut anak sampai bersih (rambut ini ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga emas, kemudian uangnya dishadaqahkan kepada fakir miskin atau yatim piatu); dan (3) memberi nama yang baik kepada anak yaitu nama yang mengandunga do’a.
- Orang tua hendaknya mendidik anak tentang ajaran agama, seperti rukun iman, rukun Islam, cara-cara berwudlu, bacaan dan gerakan shalat, do’a-do’a, baca tulis al-Quran, menghafal al-Quran, berdzikir, hukum-hukum (halal-haram, wajib-sunat), dan akhlak terpuji. Apabila orang tua tidak dapat mendidik sendiri, maka sebaiknya anak dimasukan ke TK atau TKA (Taman Kanak-kanak Al-Quran).
- Orang tu hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga (ayah-ibu, orang tua-anak, dan anak-anak).
- Orang tua merupakan pembina pribadi atau akhlak anak yang pertama.
- Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan cara yanag baik. Sikap dan perlakuan orang tua yang baik ini di antarnya: (1) memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas; (2) menerima anak apa adanya; (3) bersikap respek atau menghormati pribadi anak (tidak suka mencemoohkan kekuranganya); (4) mau mendengar keluhan anak; (5) mema’afkan kesalahan anak; dan (6) meluruskan kesalahn anakdenga pertimbangan atau alasan-alasan yang tepat.
- Orang tua hendaklah tidak memperlakuakan anak secara otoriter (perlakuan yang keras), karena akan mengakibatkan perkembangan apribadi atau akhlak anak yang tidak baik, dan juga tidak permisif (terlalu memberikan kebebasan), karena akan mengakibatkan berkembangnya akhlak anak yang kurang bertanggung jawab, atau kurang memperhatikan tata nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.
- Menurut Tafsir, A. (2002: 4-8) banyak orang tua mempercayakan seratus persen pendidikan agama bagi anaknya ke sekolah, karena di sekolah ada pendidikan agama dan ada guru agama. Orang tua agaknya merasa bahwa upaya itu telah mencukupi. Sebagian orang tua menambah pendidikan agama (Islam) bagi anaknya dengancara menitipkan anaknya ke “pesantren sungguhan”, pesantren kilat, atau mendatangkan guru agama ke rumah.
Dengan cara itu, mereka mengira bahwa anak-anak mereka akan menjadi orang –orang yang beriman dan bertakwa. Tindakan orang tua seperti itu merupakan tindakan yang benar. Tetapi itu ternyata belum mencukupi. Mengapa?
Inti agama ialah iman. Inti keberagamaan ialah keberimanan. Keberimanan itu tidak dapat diajarkan di sekolah, di pesantren, ataupun dengan cara mengundang guru agama ke rumah. Di sekolah dan pesantren diajarkan pengetahuan tentang iman, keimanan, dan keberimanan. Pengajaran itu bersifat kognitif saja, berupa penyampaian pengetahuan (pengetahuan tentang iman, keimanan, dan keberimanan). Adapun, keberimanan itu adalah sesuatu yang berada di dalam hati (al-qalb). Keimanan itu bukan di kepala, bukan berupa pengetahuan. Keberimanan itu bukn persoalan kognitif.
Inti agama ialah iman. Inti keberagamaan ialah keberimanan. Keberimanan itu tidak dapat diajarkan di sekolah, di pesantren, ataupun dengan cara mengundang guru agama ke rumah. Di sekolah dan pesantren diajarkan pengetahuan tentang iman, keimanan, dan keberimanan. Pengajaran itu bersifat kognitif saja, berupa penyampaian pengetahuan (pengetahuan tentang iman, keimanan, dan keberimanan). Adapun, keberimanan itu adalah sesuatu yang berada di dalam hati (al-qalb). Keimanan itu bukan di kepala, bukan berupa pengetahuan. Keberimanan itu bukn persoalan kognitif.
Upaya-upaya penanaman iman menurut Tafsir, A. adalah sebagai berikut:
- Sejak memilih jodoh. Nabi bersabda, “Pilih-pilihlah tempat penyemaian benih kalian…..” (HR. Ibnu Majah, Al-Daruquthni, Al-Hakim). Maksudnya, hati-hatilah memilih jodoh, karena sifat ayah dan atau sifat ibu dapat menurun kepada anaknya.
- Tatkala anak di dalam kandungan ibunya, penanaman keimanan perlu terus dilakukan. Caranya, sama saja dengan mendidik anak yang sudah lahir. Akan tetapi, pendidikan keimanan pada masa ini dilakukan oleh atau kepada ibunya.hasil penelitian psikologi menjelaskan bahwa apa-apa yang dialami ibu hamil akan mempengaruhi bayi yang dikandungnya. Apabila ibunya mendapatkan pendidikan keimanan, anak yang dikandungnya juga akan memperoleh pendidikan keimanan.
- Tatkala bayi lahir, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh ayah atau ibunya, antara lain memberinya nama yang baik. Ini merupakan salah satu bentuk penanaman iman pada bayi itu. Nama yang baik akan memberikan pendidikan kepada anak itu kelak. Banyak hadits Nabi saw. yang memberikan petunjuk kepada kita tentang cara melaksanakan pendidikan keimanan pada anak di bawah lima tahun.
Nabi mengajarkan bahwa pendidikan keimanan itu pada dasarnya dilakukan oleh orang tuanya. Caranya, melalui peneladanan dan pembiasaan. Nah, peneladanan dan pembiasaan inilah yangtidak mungkin dilakukan di sekolah, pesantren, atau oleh guru agama yang diundang ke rumah. Hanya kedua orang tuanya itulah yang mungkin dapat melakukan hal itu.
Menurut Aziz, E (2003: 164) format atau bentuk teologi Islam yang tepat untuk ditanamkan kepada anak-anak dan remaja dibagi menjadi empat periode:
Menurut Aziz, E (2003: 164) format atau bentuk teologi Islam yang tepat untuk ditanamkan kepada anak-anak dan remaja dibagi menjadi empat periode:
- periode lahir sampai berumur kira-kira 2 tahun
- periode umur 3 sampai 6 tahun
- periode usia sekolah, yaitu sekitar 7 sampai usia 12 tahun, dan
- periode remaja, yaitu 13 sampai berumur kira-kira 21 tahun.
1. periode lahir sampai berusia 2 tahun
Pada masa ini bayi bersifat pasif, semua kebutuhannya diberikan oleh kedua orang tua dan keluarga lainnya. Akan tetapi, internalisasi suatu ajaran telah dapat dimulai sejak periode ini. Abdullah Ulwan dalam bukunya Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam menyatakan bahwa di saat bayi masih pasif, internalisasi akidah dapat dilakukan melalui “talqin”, artinya mengajar orang yang masih pasif. Metode ini menurut ajaran Islam telah mulai dilaksanakan sejak bayi lahir ke dunia, dengan membacakan azan di telinganya yang kanan dan iqamat di telinga yang kiri. Jadi jelas, bahwa internalisasi akidah sudah harus dimulai sejak manusia masih bayi, yaitu dengan membacakan kalimat-kalimat tauhid atau akidah seperti tercantum di dalam azan dan iqamat serta kalimat-kalimat lain yang bermuatan teologi Islam, seperti surat al-Ikhlas, asmaaul husna, dan sebagainya
Di samping itu, dapat pula dilakukan kebiasaan yang mengarah kepembinaan teologi Islam atau pembentukan akidah anak, seperti membiasakan membaca “bismillahir rahmanir rahim” ketika mulai membantu bayi dalam memenuhi kebutuhannya, seperti mulai menyusui, menyuapi, memakaikan baju, dan memandikan. Hal ini dilakukan sejalan dengan mulai berfungsinya alat-alat indra bayi tersebut secara lebih sempurna.
2. periode usia 3 sampai 6 tahun
Pada masa ini bayi bersifat pasif, semua kebutuhannya diberikan oleh kedua orang tua dan keluarga lainnya. Akan tetapi, internalisasi suatu ajaran telah dapat dimulai sejak periode ini. Abdullah Ulwan dalam bukunya Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam menyatakan bahwa di saat bayi masih pasif, internalisasi akidah dapat dilakukan melalui “talqin”, artinya mengajar orang yang masih pasif. Metode ini menurut ajaran Islam telah mulai dilaksanakan sejak bayi lahir ke dunia, dengan membacakan azan di telinganya yang kanan dan iqamat di telinga yang kiri. Jadi jelas, bahwa internalisasi akidah sudah harus dimulai sejak manusia masih bayi, yaitu dengan membacakan kalimat-kalimat tauhid atau akidah seperti tercantum di dalam azan dan iqamat serta kalimat-kalimat lain yang bermuatan teologi Islam, seperti surat al-Ikhlas, asmaaul husna, dan sebagainya
Di samping itu, dapat pula dilakukan kebiasaan yang mengarah kepembinaan teologi Islam atau pembentukan akidah anak, seperti membiasakan membaca “bismillahir rahmanir rahim” ketika mulai membantu bayi dalam memenuhi kebutuhannya, seperti mulai menyusui, menyuapi, memakaikan baju, dan memandikan. Hal ini dilakukan sejalan dengan mulai berfungsinya alat-alat indra bayi tersebut secara lebih sempurna.
2. periode usia 3 sampai 6 tahun
Bentuk akidah yang ditanamkan pada fase ini, selain melanjutkan kebiasaan yang telah dilakukan pada periode sebelumnya, dapat dikembangkan dengan menambahkan bentuk lain sesuai dengan bertambahnya usia anak yang pada umumnya juga bertambah kecerdasan dan perkembangan intelektualnya.
Tanda-tanda pada periode ini adalah sebagai berikut:
Tanda-tanda pada periode ini adalah sebagai berikut:
- Anak mempunyai rasa keingintahuan yang amat besar, dengan mulai menanyakan sesuatu yang ditemuinya dan dilihatnya.
- Anak sudah mulai dapat menghafal dan mengingat apa yang pernah disampaikan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan al-Ghazali, dikutip oleh Hasan, F. (dalam Aziz, E. 2002: 167).
Seyogianya akidah itu disampaikan kepada anak pada awal pertumbuhannya untuk dihafalkan dengan baik. Kemudian akan terbukalah pengertiannya sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar. Jadi, pada mulanya di awali dengan menghafal, memahami, mengimani, meyakini, dan membenarkannya. Begitulah cara untuk menyukseskan pendidikan anak tanpa menggunakan dalil pembuktian
- Suka bermain, dalam hal ini peranan orang tua atau pengasuhnya adalah mencarikan alat bermain yang cocok dengan kondisi mereka dan mendukung pembinaan akidah.
- Suka cerita-cerita, baik yang benar-benar terjadi maupun dongeng. Oleh sebab itu, teologi Islam pada masa ini dapat diperkenalkan melalui cerita-cerita tentang ketuhanan dan keimanan, seperti kisah para Rasul, orang-orang saleh, dan para wali yang berisi ajaran-ajaran tentang akidah Islam
- Pada masa ini anak-anak suka meniru perbuatan orang lain, seperti orang tua dan guru. Karena itu sampaikan dengan contoh teladan, seperti melakukan shalat, wiridan ,dan lain-lain.
- Pada usia anak memasuki tahun ke-5 dan ke-6, anak mulai kritis, dalam tahap ini cara menginternalisasikan akidah sudah dapat diberikan pembuktian-pembuktian sederhana tentang eksistensi Tuhan. Misalnya mengajak anak mengamati alam sekitar.
3. Periode anak berusia 7 sampai 12 tahun
- Periode ini dapat pula disebut periode sekolah, yaitu fungsi berfikir telah semakin aktif. Pada masa ini aktivitas yang telah dilakukan masa sebelumnya dapat diteruskan sesuai dengan kondisi. Pada masa in cerita bergambar dan komik lebih disukai anak-anak. Oleh karena itu dapat diperlihatkan komik-komik yang berisi akidah atau teologi.
- Pada masa ini anak telah mulai mengenal lingkungan sosial. Mereka mulai bermain dalam kelompok. Untuk kesinambungan pembinaan akidah anak, tugas orang tua atau keluarganya adalah memilhkan kelompok bermain atau teman yang cocok.
- Pada zaman teknologi seperti sekarang film-film porno pun dengan mudah dapat ditonton. Untuk mengimbangi bimbinglah anak-anak kita untuk menghindari tontonan tersebut, berikan tontonan yang bernuansa religi
4. Periode remaja usia 13 tahun sampai 21 tahun
Masa remaja ialah masa yang terindah dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, masa ini harus dicermati oleh semua pihak bukan saja karena kondisi mereka yang berada pada masa peralihan antara anak-anak dan dewasa, melainkan lebih dari itu mereka sangat rawan dan rentan terhadap berbagai ideologi dan paham-paham yang berkembang di sekitar mereka.
Demikianlah artikel Peranan Pendidikan Keluarga dalam Pembinaan Akidah, jagalah keluarga kita dari api neraka dengan terus memperkokoh akidah. Terima kasih atas kunjungannya dan semoga bermanfaat (Sumber: Herman Jayawardhana, S.Pd.I)
Masa remaja ialah masa yang terindah dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, masa ini harus dicermati oleh semua pihak bukan saja karena kondisi mereka yang berada pada masa peralihan antara anak-anak dan dewasa, melainkan lebih dari itu mereka sangat rawan dan rentan terhadap berbagai ideologi dan paham-paham yang berkembang di sekitar mereka.
Demikianlah artikel Peranan Pendidikan Keluarga dalam Pembinaan Akidah, jagalah keluarga kita dari api neraka dengan terus memperkokoh akidah. Terima kasih atas kunjungannya dan semoga bermanfaat (Sumber: Herman Jayawardhana, S.Pd.I)
peranan keluarga memang sangat penting
ReplyDeletekeluarga memang harus jd yang terdepan
ReplyDeleteBetul sekali, jadi pendidikan itu bukan berpusat di sekolah tapi melainkan dirumah karena orangtua jauh lebih lama durasi kebersamaannya dengan anaknya. Mudah-mudahan dengan memahami hal ini. Jadinya keluarga dan anak bisa bekerjasama dalam pembinaan akhlaq dan akidah yang baik. Mudah-mudahan nanti jadi pembentengan diri dari arus zaman.
ReplyDeletePenting banget nih infonya makasih gan
ReplyDelete