Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik

Pengertian Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik
Pixabay.com

Cariduit-dot -- Apa itu Emosi? Emosi yaitu perasaan yang ada pada individu. Emosi bisa berupa perasaan senang atau sebaliknya, perasaan baik atau buruk. Emosi juga didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat” (World Book 2015, 690). Perasaan benci, takut, marah, cinta, senang, dan kesedihan. Nah, perasaan tersebut contoh gambaran emosi. Goleman menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran  khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman 1995). Terkait dengan emosi silahkan bisa kita cermati divideo ini: https://www.youtube.com/watch?v=wLdyorCULj0

Pondasi perkembangan psikososial mencakup emosi dan pengalaman awal anak bersama dengan orang tua. Anak memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan sebagai makhluk sosial ini telah aktif dikembangkan anak sejak lahir (Papalia and Feldman 2001). Pada usia 6 bulan, anak telah mampu mengenal ibu dan anggota keluarga yang sering berinteraksi dengannya. Pada tahapan ini, anak sudah bisa  membedakan ekspresi sosial dari lingkungannya, seperti mengartikan senyum, marah, teriakan, kasih sayang dan lainnya. Seiring dengan bertambahnya usia, anak mengembangkan kebutuhan dan hubungan sosial yang semakin kompleks dengan lingkungan (Sukatin 2020).

Berikut ini fungsi emosi terhadap perkembangan anak antara lain (Darmiah 2020), pertama, merupakan bentuk komunikasi. Kedua, emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya. Contohnya tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan terhadap dirinya.

Pengertian Perkembangan Sosial

Menurut Hurlock, Perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 2012). Sedangkan menurut Allen dan Marotz (Musyarofah 2017, 31) perkembangan sosial adalah perasaan yang mengacu pada perilaku dan respon individu terhadap hubungan mereka dengan individu lain.

Lebih jelasnya perkembangan sosial merupakan proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Jadi pekembangan sosial ini fokus pada relasi antara peserta didik dengan orang lain. Bisa kita cermati link video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=8mFezbyEwzI

Konsep Sosial dalam Islam

Bagi seorang muslim konsep sosial  sudah sangat jelas diajarkan sesuai tuntunan al-Quran. Islam menegaskan manusia diciptakan beragam agar saling kenal mengenal (QS. al-Hujurat:13) manusia harus saling tolong menolong (Q.S. al-Maidah 2), kemudian bahwa sesama orang-orang yang beriman itu bersaudara (QS. Al-Hujurat: 10) dan kaum muslim itu adalah umat yang satu (QS. Al-Anbiya: 92). Dari dalil- dalil tersebut kesemuanya berimplikasi bahwa seorang guru harus menanamkan rasa kebersamaan serta peserta didik dapat menyesuaikan diri baik sebagai individu maupun dalam kehidupan sosialnya.

Perkembangan sosial peserta didik adalah tingkatan jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman sebaya, hingga masyarakat secara luas. Sedangkan perkembangan emosional adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang lain.

Spiritualitas

Spiritualitas merupakan aspek berkaitan dengan lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal. Spritualitas adalah cita rasa totalitas kedalaman pribadi manusia.

Apakah spiritualitas sama dengan Religiusitas?

Ada yang menyamakan spritualitas dengan religiusitas, namun ada juga yang berpendapat keduanya berbeda. Yang jelas dalam spritualitas mengandung makna semangat, roh, jiwa, dan keteguhan hati atau keyakinan.

Dasar atau pondasi utama pendidikan berbasis spiritual adalah al-Quran dan Hadis. Allah menjelaskan akan eksistensi manusia di muka bumi:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172)

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan kebahagiaan peserta didik baik dunia maupun akhirat (Arif 2002). Oleh karena itu pendidikan diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan kelak di akhirat (QS. Al-Qashash: 77).

Karakteristik Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual

Lewis dan Rosenblam (Stewart, 1985) mengutarakan mekanisme emosi melalui lima tahapan (Alison Clarke-Stewart, Susan Friedman, and Joanna Barbara Koch 1985), yaitu:

  1. elicitors, yaitu adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa
  2. receptors, yaitu aktivitas dipusat system syaraf
  3. state, yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi
  4. expression, yaitu terjadinya perubahan pada daerah yang diamati, seperti pada wajah, tubuh, suara atau tindakan yang terdorong oleh perubahan fisiologis
  5. experience, yaitu persepsi dan interpretasi individu pada kondisi emosionalnya.

Pendapat Syamsuddin (2000) menggambarkan mekanisme emosi dalam rumusan yang lebih ringkas. Emosi adalah gabungan lima komponen (elicitors, receptors, state, expression, experience), yang kemudian dibagi dalam tiga variabel, yaitu (1) variabel stimulus, merupakan rangsangan yang menimbulkan emosi (2) variabel organik, merupakan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi saat mengalami emosi (3) variabel respon, merupakan pola sambutan ekspresif atas terjadinya pengalaman emosi.

Perkembangan sosial emosianal anak memiliki keterkaitan dengan aspek perkembangan lainnya, baik fisik maupun mental (Nurmalitasari 2015). Keterkaitan tersebut dapat diketahui dari peningkatan kemampuan yang saling melengkapi.

Sejak kapan proses perkembangan sosial dimulai? Perkembangan sosial dimulai sejak bayi, dan itu merupakan pondasi yang terus berlanjut hingga usia lanjut usia.

Salah satu tokoh psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan sosial peserta didik adalah Erik Erikson. Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut (Krismawati 2014, 49).

Erikson menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa depan (Ratnawulan 2018). Adapun tahapan perkembangannya sebagai berikut:

Tahap Perkembangan Agama

Sedangkan perkembangan spiritual keagamaan dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. the fairy tale stage (tingkat dongeng), dimulai 3-6 tahun. Konsep ketuhanan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Menurut  Hurlock (2012) Kenapa disebut tahap dongeng? karena anak menerima semua keyakinanannya dengan unsur yang tidak nyata. 

2. the realistic stage (tingkat kenyataan), dimulai 7-12 tahun. Pada masa ini, anak mampu memahami konsep ketuhanan secara realistik dan konkrit.

3. the individual stage, terjadi pada usia remaja dimana pada masa ini situasi jiwa mendukung untuk mampu berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya.

Menurut James Fowler (dalam Desmita 2010) merumuskan theory of faith didasarkan pada teori perkembangan psikososial Erikson yang mengacu pada tahapan kehidupan yang terdiri dari 7 tahap perkembangan agama, yakni:

  • Tahap prima faith Tahapan kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya.
  • Tahap intuitive-projective Tahapan yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajar dan contoh-contoh signifikasi dari orang-orang dewasa.
  • Tahapa mythic-literal faith yang dimulai dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, sesuai dengan tahap kognitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya.
  • Tahap synthetic conventional faith Tahapan yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja. Pada tahap ini ditandai dengan kesadaran terhadap simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritis atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya.
  • Tahap individuative-reflective faith Tahapan yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut.
  • Tahap conjunctive-faith Tahapan yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasasi dengan simbol-simbol ritual-ritual dan keyakinan agama.
  • Tahap universalizing faith Tahapan yang berkembangan pada masa usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya kepercayaan transcendental untuk mencapai perasaan ketuhanan.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik

1. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi

Perkembangan emosi yang muncul pada setiap anak berbeda. Penyebabnya adalah karena faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari berbagai sumber (Setiawan 1995, Susanto 2011, Tirtayani and Asril 2014) disimpulkan faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak yaitu:

a. Pengaruh Keadaan Individu Sendiri

Keadaan diri individu seperti usia, keadaan fisik, inteligensi, peran seks dapat mempengaruhi perkembangan individu. Hal yang paling menonjol adalah saat anak mengalami gangguan atau cacat tubuh, maka akan sangat mempengaruhi perkembangan emosi peserta didik.

Pengalaman belajar juga menentukan reaksi potensial mana yang akan mereka gunakan untuk menyatakan kemarahan. Ada lima jenis kegiatan belajar yang turut menunjang pola perkembangan emosi anak yaitu:

  1. Belajar secara coba dan ralat (trial and error learning), anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit.
  2. Belajar dengan cara meniru (learning by imitation), dengan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
  3. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification). Hampir sama dengan belajar secara meniru, perbedaanya terdapat pada dua segi yaitu anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat.
  4. Belajar melalui pengkondisian (conditioning) Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun awal kehidupan, karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
  5. Pelatihan (training), atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.

b. Konflik dalam proses perkembangan

Dalam menjalani fase perkembangan, tiap anak melalui berbagai macam konflik perkembangan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan perkembangan emosi anak adalah:

  1. kesadaaran kognitifnya yang meningkat memungkinkan pemahaman terhadap lingkungan berbeda dari tahap semula.
  2. imajinasi atau daya khayalnya lebih berkembang
  3. berkembangnya wawasan sosial anak
  4. Faktor lingkungan. Emosi anak akan positif jika lingkungan juga positif, begitu sebaliknya. Faktor lingkungan ini terbagi tiga, yakni (1) Lingkungan Keluarga. Keluarga berfungsi menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi anak. Diantara faktor yang banyak berpengaruh yakni status ekonomi keluarga, keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua.
  5. Lingkungan tempat tinggal, berupa kepadatan penduduk, angka kejahatan, fasilitas rekreasi dan bermain anak.
  6. Lingkungan sekolah, berupa keharmonisan antara guru dan peserta didik, atau antara peserta didik dengan teman sebayanya.

2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial peserta didik juga dipengaruhi beberapa faktor (Mayar 2013; Tirtayani and Asril 2014), yaitu :

a. Faktor individu

Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Oleh karena itu faktor individu adalah kematangan.  Untuk mampu mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Faktor yang lainnya berupa kapasitas mental yang terdiri dari emosi dan intelegensi. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.

b. Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga.

Perkembangan anak sangat dipengaruhi oeleh proses bimbingan orang tua terhadap anaknya dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma kehidupan bermasyarakat dengan dorongan dan memberikan tauladan. Perkembangan sosial di lingkungan keluarga juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

  1. Status anak dalam keluarga. Sosialisasi seorang anak akan dipengaruhi oleh statusnya. Siapakah ia di dalam keluarga tersebut? Apakah kakak, atau adik!
  2. Keutuhan keluarga. Jika keutuhan rumah tangga keluarga bagus, jarang terdengar konflik di dalamnya, sehingga sosialisasi anak dapat berjalan dengan lancar.
  3. Sikap dan kebiasaan orang tua. Sikap dan kebiasaan orang tua akan menurun juga kepada anaknya. Jika orang tua yang mempunyai sikap ramah dan memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang sekitar, maka dapat dipastikan sosial anak juga akan bagus.

c. Faktor Dari Luar Rumah

Lingkungan luar rumah adalah wadah bagi anak untuk bersosialisasi. Disana anak akan bertemu dengan orang yang lebih banyak, seperti teman sebaya, orang yang lebih kecil darinya, orang dewasa, sehingga sosialnya akan berjalan sesuai dengan perannya di lingkungan tersebut. Begitu pula dengan media massa, seperti televisi bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga merupakan agen sosialisasi yang penting. Meskipin banyak penelitian tentang pengaruh televisi difokuskan pada pengamatan agresif lebih dari model tingkah laku, namun sekarang orang mulai mengamati pengaruh televisi terhadap perkembangan tingkah laku sosial anak.

d. Faktor Pengaruh Pengalaman Sosial Anak

Jika seorang anak memiliki pengalaman sosial kurang baik, seperti orang tuanya melarang main keluar, maka hal itu, akan berpengaruh terhadap proses sosialisasinya kepada lingkungan sekitarnya yang berbeda di luar rumah.

Selain itu, kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keuarganya. Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak yakni pendidikan, semakin tinggi pendidikan, maka perkembangan sosial semakin terarah, semakin santun dan semakin sesuai harapan normatif masyarakat pada umumnya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Spiritual

Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan moral dan spiritual individu, baik aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada di lingkungan sekitarnya, termasuk dari gurunya. Figur guru sangat penting bagi peserta didik sebagai teladan. Semua aspek di atas memiliki peran yang penting dalam perkembangan moral dan spritual peserta didik yang kadarnya bergantung pada usia atau kebiasaan (Wahyuni 2010).

Dalam membentuk tingkah laku sebagai cerminan nilai-nilai kehidupan banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti:

  1. Lingkungan keluarga, merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Biasanya tingkah laku seorang anak berasal dari contoh orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar anak tersebut tidak bisa mengembangkan egonya sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.
  2. Lingkungan sekolah. Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan, atas bimbingan guru.
  3. Lingkungan pergaulan. Pergaulan juga turut mempengaruhi moral seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru, dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman.
  4. Lingkungan masyarakat. Masyarakat memiliki pengaruh terhadap pembentukan moral, sebab adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri, berupa sanksi-sanksi sosial untuk pelanggarnya.
  5. Faktor genetis atau pengaruh sifat-sifat bawaan (hereditas). Hereditas diartikan sebagai totalitas karakteristik individu, dan diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi.
  6. Tingkat penalaran. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
  7. Teknologi. Kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap moral dan spritual.

Implikasi Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik dalam Pembelajaran

Menurut Golemen (1995) terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecerdasan emosi, yakni:

  • belajar mengembangkan kesadaran diri,
  • belajar mengambil keputusan pribadi,
  • belajar mengelola perasaan,
  • belajar menangani stress,
  • belajar berempati,
  • belajar berkomunikasi,
  • belajar membuka diri,
  • belajar mengembangkan pemahaman,
  • belajar menerima diri sendiri,
  • belajar mengembangkan tanggung jawab pribadi,
  • belajar mengembangkan ketegasan,
  • mempelajari dinamika kelompok
  • belajar menyelesaikan konflik

Oleh karena itu perlu strategi untuk menangani emosi peserta didik, yaitu:

  1. Guru dan orang tua tidak boleh membuat jarak sosial, tapi harus lebih dekat dengan peseta didik. Orang tua atau guru hendaknya mampu membangun kedekatan bahkan menyatu dengan lingkungan anak.
  2. Guru atau orang tua harus terampil dalam mengobservasi berbagai karakter emosi dan perilaku sosial anak, terutama yang diekspresikan melalui tampilan fisik, mental, dan psikologis.
  3. Guru dan orang tua harus memiliki kemampuan dalam merekam, mencatat, dan membuat prediksi perbuatan yang menyertai peserta didik. Untuk itu, setiap observer, terutama guru, senantiasa menyimpan kertas kecil dalam sakunya apabila sewaktu-waktu harus mencatat ekspresi emosi dan sosial peserta didik.

Sekolah memiliki peranan penting dalam pengembangan keterampilan sosial peserta didik. Untuk itu, para guru perlu menerapkan berbagai strategi dalam membantu peserta didik memperoleh tingkah laku interpersonal yang efektif, yaitu:

  1. Mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial dan strategi pemecahan masalah sosial.
  2. Menggunakan strategi pembelajaran kooperatif. Ketika siswa berpartisipasi dalam permainan kooperatif, tingkah laku agresif mereka terhadap anak-anak lain cenderung menurun.
  3. Memberikan label perilaku yang pantas. Guru dapat meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap efektivitas keterampilan sosial dengan mengidentifikasi dan memberi pujian atas perilaku sosialnya.
  4. Meminta siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku-perilaku yang mereka miliki. ]
  5. Mengembangkan program mediasi teman sebaya. Siswa SD dan SMP sama-sama mengambil manfaat dari training mediasi, dimana mereka belajar bagaimana melakukan intervensi terhadap perselisihan interpersonal yang terjadi di dalam kelas secara efektif.  Hal itu juga bisa membantu peserta didik dalam mengembangkan sikap sosial yang toleran terhadap orang lain, mengembangkan interaksi yang komunikatif, kolaboratif, adaptif dan fleksibel dalam menghadapi situasi.

Sekolah dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral spiritual, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang beradab. Oleh karena itu guru harus mampu memberikan ruang belajar yang sensitif terhadap perkembangan spiritual peserta didik, dengan cara:

  • Menjadikan pendidikan sebagai wahana kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya bersifat teoritis.
  • Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting seperti:
  • Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari
  • Menanyakan kepada anak sebagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari
  • Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
  • Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka
  • Materi yang disampaikan guru dalam kelas adalah materi yang secara langsung dapat menyentuh permasalahan keagamaan yang dialami peserta didik.
  • Menanamkan nilai-nilai Islam yang terkait dengan masalah ibadah dengan cara memaparkan hikmah yang terkandung didalamnya.

Kesimpulan

Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi adalah keadaan fisik. Seperti jika disekolah ada siswa yang mengalami gangguan atau cacat tubuh, maka akan sangat mempengaruhi perkembangan emosi peserta didik. Nah, masalah tersebut memang benar dan sesuai dengan fakta disekolah. Anak tersebut sulit bergaul dengan temannya bahkan suka menyendiri dan lebih tertutup. Salah satu penyebabnya adalah bukan karena ia tidak menerima kondisi tersebut, namun lebih karena sindiran atau ejekan temannya, sehingga emosinya juga ikut labil

Emosi anak akan positif jika lingkungan juga positif, begitu sebaliknya. Salah satu faktor paling berpengaruh terhadap emosi anak yaitu keluarga. Satu hal yang selalu jadi kurang baik terhadap kurang stabilnya emosi siswa yaitu status ekonomi keluarga. Seringkali saya jumpai anak malas belajar gara-gara faktor ekonomi keluarga, hanya gara-gara anak tersebut tidak bisa dibelikan handphone, tidak pulang kerumah berhari-hari dan tidak mau belajar. Itu artinya ketika anak punya keinginan yang kuat, kemudian ada faktor lain yang menghambat keinginannya, maka anak tersebut berontak melampiaskan emosinya kepada orang tua dirumah. 

Guru adalah orang yang paling paham terkait perkembangan individu siswanya disekolah, termasuk psikolog siswa. Namun ternyata masih ada guru yang belum sepenuhnya menguasai psikologi belajar siswa. Akibatnya selalu ada ketidakharmonisan antara gurunya dengan siswa. Salah satu penyebabnya adalah guru terlalu memaksakan konsep pembelajaran yang diinginkan tanpa mengetahui kemampuan kognitif siswa itu sendiri. 

Post a Comment for "Pengertian Perkembangan Emosi, Sosial, dan Spiritual Peserta Didik "